KESADARAN SEBAGAI PASAK PADA POROS FEMINIS DALAM MEMBANGUN TEORI PENGETAHUAN
A. PENDAHULUAN
Feminisme merupakan suatu paham yang muncul lewat proses kesejarahannya sendiri, yaitu berawal dari fakta-fakta eksploitasi laki-laki dan perempuan. Kelompok laki-laki(maskulin) merasa lebih tinggi(superior) dari pada perempuan. Fakta-fakta yang terjadi tersebut membuat laki-laki mendominasi segala aktivitas, baik intelektual(pengetahuan) maupun pengalaman dunia sosial. Misalnya dalam sebuah buku karangan Nancy Van Vuuren tentang Wanita dan Karier, memberikan suatu pemahaman kerja dalam karier wanita, bahwa:
“Wanita mengurus rumah dan anak-anak supaya pria dapat pergi bekerja.
Wanita adalah perawat yang memungkinkan dokter mengerjakan seni
penyembuhan.
wanita mengurus kantor, menjawab telepon, mengatur surat menyurat dan
arsip, agar pria dapat melaksanakan tugas mengambil keputusan.
Wanita pelayan menyajikan makanan pada santapan bisnis para pria, atau pada
pria yang berkencan dengan perempuan.”
Pemahaman ini merupakan suatu anggapan yang melegitimasi(mutlak benar) selama berabad-abad lamanya. Seolah-olah pemahaman perempuan tersebut merupakan pemahaman yang paling cocok untuk perempuan.
Banyak contoh terhadap keberadaan feminis berkaitan dengan pemahaman semacam itu mendapat tanggapan yang serius dari para feminis yang sadar untuk bertindak atau bersuara, khususnya perlawanan para feminis yang dianggap berasal dari jaman abad pencerahan. Perempuan sebagai manusia kelas dua menjadi topik aktual jaman modern pada abad 18 sampai pada abad 19, walaupun pada penghujung abad 16 dan akhir abad 17 mereka telah menciptakan suatu gerakan yang memegang janji bagi pengetahuan tentang relasi gender yang lebih baik dan meningkat. Abad 18 dan 19 problem perempuan mencapai puncaknya dalam perdebatan seputar permasalahan dan bentuk epistemologi feminis .
Perdebatan dan bentuk epistemologi feminis merupakan suatu usaha pembebasan para feminis dan penciptaan ruang khusus bagi mereka dalam menantang teori-teori patriarki yang selama ini dianggap benar. Dengan kata lain metode ini adalah suatu temuan baru bagi kaum feminis dalam mengungkapkan gagasan-gagasan.
Menurut MCNeil, perempuan yang melahirkan feminis gelombang kedua, dianggap sebagai anak perempuan dari pencerahan, karena mereka dipandang mewarisi beberapa asumsi pencerahan. Mereka membuat suatu strategi kunci untuk melawan penindasan dan patriarki. Bagi MCNeil problem ini adalah suatu pola baru antarperempuan karena meningkatnya kesadaran. Feminis melalui kesadarannya menciptakan suatu pengetahuan perspektif feminis.
B. POKOK MASALAH
Feminis sebagai motor utama dalam menciptakan teori pengetahuan beranjak dari kesadaran terhadap pengalaman secara umum. Kesadaran terhadap pengalaman ini, apakah merupakan suatu kesadaran untuk mengetahui sesuatu dibalik pengalaman yang mereka alami, baik secara langsung maupun tidak langsung? Dengan kata lain dapatkah feminis menggali suatu basis teori dari suatu pengalaman? Dan dengan adanya kesadaran tersebut, apakah feminis mampu mengembangkan dan membuka tabir keterpasungan mereka dari kaum maskulin dengan segala tindakan dan gagasan-gagasan yang dianggap melegitimasi secara mutlak dengan teori pengetahuan baru perspektif feminis? Lebih jauh lagi, teori apa yang dianggap dapat memperkuat basis pengetahuan mereka dan dapat dijadikan basis pengetahuan dalam dunia modern?
C. PEMBAHASAN
“Kesadaran untuk menciptakan pengetahuan dari perspektif feminis”
Mengetahui sesuatu merupakan suatu kegiatan sadar manusia. Mengetahui sesuatu dimengerti sebagai kegiatan kesadaran manusia apabila manusia memahami dan mengalami serta menegaskan putusan tentang suatu obyek yang dihadapinya dengan sadar bahwa saya sadar akan sesuatu. Setiap manusia juga perlu mengetahui bahwa tidak semua kegiatan sadar manusia itu bersifat kognitif atau bersifat pengetahuan. Tetapi manusia juga perlu mengetahui bahwa semua kegiatan mengetahui merupakan kegiatan sadar.
Kegiatan sadar kita sebagai manusia secara umum sangat erat kaitannya dengan mental kita. Kita diberi anugerah untuk dapat membedakan antara kegiatan sadar dan segala obyek didalamnya. Kalau kita terfokus pada obyek atau isinya berarti kita mempunyai kesadaran secara langsung. Sebaliknya, kalau perhatian kita terfokus pada kegiatanya berarti kita tidak menyadari kegiatan itu secara langsung atau bersifat refleksif dalam pengertian bahwa kita sadar akan sesuatu. Dalam kesadaran tidak langsung atau reflektif akan suatu obyek, kita sebenarnya juga bisa sadar akan kesadaran kita, tetapi fakta ini tidak secara eksplisit diketahui. Sebenarnya, dalam kegiatan reflektif ini ada kecenderungan bahwa orang sengaja menyadari apa yang disadarinya.
Dalam uraian di atas sangat nampak bahwa subyek dan obyek merupakan sesuatu yang sangat penting, dimana kedua-duanya harus ada. Mengapa? Karena subyek dan obyek adalah dua faktor yang membentuk kesadaran. Seperti yang ditekankan oleh Edmund Husserl dan para fenomenolog bahwa:
“Kesadaran itu selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Kesadaran itu
bersifat bersifat intensional, artinya Kesadaran selalu mengarahkan
diri kepada obyeknya nya apa pun wujudnya: bisa benda-benda fisik,
gagasan-gagasan ataupun yang lain”.
kesadaran yang dimiliki feminis juga erat kaitannya dengan kegiatan akan pengalaman mereka untuk mengetahui sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung. Kesadaran ini pertama-tama lebih cenderung digunakan feminis untuk memaksudkan tidak mengulangi suatu kesalahan yang sama. Dengan kata lain, kesadaran feminis juga mengarah pada kesadaran untuk menyadari sesuatu. Misalnya, gagasan-gagasan yang diungkapkan oleh kaum patriarki. Di satu pihak gagasan-gagasan yang dimunculkan kaum patriarki mengandung unsur positif, tetapi di lain pihak gagasan-gagasan tersebut sangat tidak menguntungkan bagi para feminis. Gagasan-gagasan ini menjadi pembatas bagi feminis untuk berkembang dan berpikir sebagai manusia modern.
Dalam sejarah penciptaan kita mendengar suatu peristiwa yang menarik dan sekaligus peristiwa yang kerap ditolak oleh kaum feminis, yaitu perbedaan jenis kelamin menjadi perbedaan dalam banyak hal termasuk cara pandang yang sangat berbeda dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki(maskulin) dianggap sebagai manusia pertama(the first sex) sekaligus sebagai penguasa pertama dunia. Sedangkan perempuan(feminis) dianggap manusia kelas dua(the second sex) dan mempunyai peran sebagai pelengkap. Laki-laki diberi kuasa oleh Penciptanya untuk memberi nama kepada segala jenis binatang, tetapi satu kekurangan yang dilihat Sang Pencipta dari manusia pertama ini, yaitu ia tidak mempunyai ‘teman’ yang sepadan. Namun kekurangan ini dipenuhi oleh Sang Pencipta dengan menganugerahi kepada manusia pertama seorang teman sekaligus sebagai penolong yang sepadan, yaitu manusia kedua, perempuan.
Kisah ini mengandung suatu nilai optimis bagi kaum maskulin untuk semakin berkuasa atas alam dan segala ciptaan Tuhan termasuk kaum feminis. Namun bagi feminis sendiri di satu sisi kisah ini ingin menunjukkan bahwa feminis menghadapi suatu tantangan besar untuk memperoleh tempat yang sama, yang sejajar dengan kedudukan maskulin. Dalam realitas sosial banyak cara yang telah dilakukan oleh feminis berkaitan dengan perjuangan mereka. Misalnya persamaan gender, baik dalam pekerjaan, tugas maupun pendidikan. Namun apakah usaha ini berhasil menjatuhkan atau mensejajarkan kedudukan feminis terhadap kedudukan maskulin? Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi dalam realitanya hingga saat ini para feminis masih berjuang untuk memperoleh suatu kemungkinan terhadap masa depan mereka di mata kaum maskulin.
Dalam perkembangan dunia modern Perjuangan pembebasan perempuan, yang dinotabenekan sebagai warga kelas dua(The Second Sex) kiranya menemukan suatu perspektif baru dan merupakan bentuk kesadaran baru dari feminis, yaitu penciptaan teori baru atau epistemologi feminis. Kesadaran baru tersebut dimunculkan feminis sebagai bentuk protes terhadap identitas yang selama ini tidak diperhitungkan. Identitas feminis tidak dipandang positif oleh kaum maskulin, yang tidak merepresentasikan status maupun peran feminis dalam membentuk atau menciptakan suatu teori-teori berdasarkan pemikiran feminis. Dengan kata lain kesadaran tersebut muncul karena feminis ingin membuktikan bahwa gagasan-gagasan dari basis pengetahuan mereka melebihi gagasan-gagasan perspektif maskulin dan gagasan tersebut dapat diterima oleh masyarakat.
Kesadaran kaum feminis menciptakan ilmu merupakan suatu sikap positif yang menandakan bahwa kaum feminis bukan hanya sebagai manusia yang diciptakan untuk mengurus persoalan-persoalan harian dalam keluarga atau lebih pada hal-hal praktis saja, serta sebagai pelengkap bagi kaum maskulin, tetapi sebagai manusia yang mempunyai konsep berpikir yang mungkin melebihi pengetahuan kaum laki-laki.
Persoalan mengenai konsep berpikir feminis tersebut menjadi suatu permasalahan yang sangat besar. Pada tahun 1980-an dan 1990-an perdebatan seputar permasalahan tentang pandangan perempuan yang esensial dan bentuk epistemologi telah diserang dan dikritik dari dalam feminis sendiri dan kritik dari luar.oleh perempuan yang berkeberatan dengan teori feminis yang gagal dalam mengungkapkan permasalahan mereka .
Sebaliknya, kaum maskulin selama berabad-abad bahkan sampai sekarang dinotabenekan sebagai warga kelas pertama(The First Sex). Sebutan ini dapat dikatakan sebagai fakta historis masa lampau, yang mendukung teori-teori yang diciptakan kaum maskulin. Misalnya, peninggalan tulisan-tulisan kuno atau traktat-traktat, yang dihasilkan kaum maskulin dan yang sekaligus menjadi suatu kebenaran yang dapat diterima oleh masyarakat termasuk kaum feminis. Seolah-olah dunia sosial yang real ini diciptakan, diusahakan dan dibentuk atas basis pemikiran atau temuan laki-laki bukan feminis. Dengan kata lain, kritik dari para filsuf dan pemikir psikoanalisis dan teori kebudayaan yang terus berlangsung, khususnya postrukturalisme dan posmodernisme, yang menyerang basis epistemologi feminis dan menolak konsep feminisme menjadi suatu teori-teori yang dapat dibenarkan dalam masyarakat.
Misalnya, Halberg. Dia adalah seorang pemikir posmodern menyerang pemikiran feminisme dengan mempertanyakan gagasan dari sebuah basis pengetahuan feminis. Halberg mengatakan bahwa gagasan sebuah konsep ‘kebenaran’ selalu plural dan bergantung pada situasi. Maka permasalahan yang muncul menurut Halberg adalah basis epistemologi itu sendiri, yang harus dipertanyakan. Halberg juga menelaah mengenai sifat dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam membangun teori epistemologi feminis. Menurutnya terdapat tiga permasalahan yang sangat sulit dipecahkan, yaitu permasalahan obyektivisme dan relativisme, pemikiran perempuan dan laki-laki dan perbedaan di dalam pemikiran feminis. Dari telaah yang dilakukan Harberg, ia menemukan suatu konsep paling jelas untuk mengakomodasi tuntutan teoretis yang dibutuhkan, yaitu “pengalaman umum perempuan”.
Pengalaman perempuan jika dilihat secara mentah memang sangat sulit untuk diketahui secara jelas berhubungan dengan penciptaan suatu teori. Namun walaupun banyak persoalan yang muncul sebenarnya pengalaman ini merupakan suatu pijakan yang tepat untuk melihat realita yang terjadi. Pijakan ini lebih jauh dapat memunculkan suatu kesadaran dan yang pada akhirnya dapat memantulkan suatu sinar untuk bergerak dan berpikir lebih jauh tentang keberadaannya. Term pengalaman ini mengandung sebuah point yang berbobot tinggi karena term ini berkaitan langsung dengan realita kehidupan dan secara jelas juga kita dapat mengatakan bahwa perempuan mengambil tempat yang dominan dalam hal ini dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Dengan demikian, berdasarkan lika-liku perjalanan sebuah ilmu dari sudut perspektif feminis( = mengandaikan perempuan sebagai The first Sex) dapat dikatakan bahwa dalam memperjuangkan sebuah pengetahuan, feminis mulai dari suatu kesadaran akan pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Artinya, perempuan melihat fakta historis dunia dikuasai oleh kaum laki-laki, termasuk penciptaan basis suatu teori pengetahuan perspektif laki-laki dalam dianggap banyak mengandung problematis. Melalui lika-liku inilah feminis mulai memperdebatkan dan menanggapi teori perspektif laki-laki, yang dianggap kurang sesuai dengan realitas sesungguhnya atau pandangan laki-laki sangat problematik oleh feminis.
Penghayatan Perempuan terhadap Nilai Pendidikan
Permasalahan utama yang sangat perlu diamati sebelum beranjak pada suatu teori dari sebuah pengetahuan yang ingin dimunculkan dari perspektif perempuan adalah bagaimana penghayatan perempuan terhadap nilai pendidikan! Bagaimana perempuan dapat keluar dari belenggu feodalisme laki-laki.
Para perempuan Indonesia(khususnya) memiliki kecenderungan positif terhadap nilai pendidikan. Nilai pendidikan yang ada itu ditegaskan dalam berbagai kebiasaan. Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa dalam budaya bangsa Indonesia nilai pendidikan ini tidak dapat dilepaskan dari nilai pekerjaan.
Misalnya suatu kebiasaan yang terjadi di daerah pedesaan , orang tua memasukkan anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan ke sekolah dasar, ketika mereka berumur 6-7 tahun(umur ini merupakan ketentuan sistem pendidikan yang resmi); atau orang tua, lebih-lebih si ibu menyisihkan dengan patuhnya sejumlah uang setiap bulan menyumbang sekolah khususnya untuk membeli keperluan sekolah tersebut. Contoh lain kita dapat melihat gadis-gadis kecil memegang buku(belajar) sambil mengasuh adiknya. Nampak jelas di sini terdapat pembagian kerja di antara anggota rumah tangga, khususnya antara si ibu dengan anak-anaknya dalam pekerjaan rumah tangga, yang mendukung bahwa pendidikan formal itu penting.
Nilai pendidikan yang dihayati dan yang menjadi perhatian dan kepedulian perempuan tidak hanya ada dalam budaya atau kebiasaan di Indonesia, tetapi juga terdapat di hampir seluruh dunia bahwa setiap perempuan telah memiliki kecenderungan positif terhadap nilai pendidikan. Memang permasalahan yang muncul adalah kapan kecenderungan itu muncul?
Sebenarnya, kita telah mendapat jawabannya yaitu sejak adanya kesadaran perempuan untuk keluar dari belenggu feodalisme dan pemikiran-pemikiran patriarki yang membudaya, melalui pengalaman-pengalaman inderawi mereka. Namun nilai kesadaran akan pendidikan ini dapat hilang apabila perempuan terlalu mempertimbangkan segala sesuatu dengan berpedoman pada pengalaman yang sederhana dan tanpa melibatkan kemampuan dalam meragukan segala sesuatu untuk menemukan suatu kesepakatan atau suatu kebenaran serta bersikap kritis terhadap pekerjaan yang dihadapinya. Dengan kata lain, setiap pengalaman yang dialami oleh feminis tidak sekedar disadari atau diterima begitu saja, tetapi pengalaman yang diterima tersebut perlu dikritisi. Nash, (1994: 6-7) mencatat kritik Derrida tentang ‘metafisika kehadiran’, yang telah mempermasalahkan konsepsi pengalaman sebagai sesuatu yang sederhana dan transparan:
“Apa yang dimaksudkan adalah pengalaman tidak akan pernah bisa diisolasi dari konteks di mana mereka manampakkan dirinya sendiri dan setiap pengalaman melibatkan ‘kemampuan untuk meragukan……..”
Basis Teori dari Suatu Pengetahuan yang akan
Dimunculkan feminis
Tujuan suatu epistemologi yang ingin dimunculkan feminis pada umumnya mengimplikasikan dua hal penting yang harus dibedakan dalam feminis, yaitu gerakan gender dan rekonstruksi feminis. Gerakan gender sudah dimulai sejak jaman pencerahan pada abad-16 dan abad-17. Gerakan pada masa ini merupakan suatu bentuk gerakan perlawanan seksisme, yaitu paham yang berpandangan adanya perbedaan yang jelas antara kedudukan laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi baik dalam sistem sosial maupun politik, sebagai mana dinyatakan oleh Nicholson(1990: 26),
“perempuan membentuk teori adalah untuk membantu perjuangan
melawan seksisme, bukan bermaksud untuk mengabaikan alat
politk yang kuat sebagai hasil dari perdebatan di dalam dinding
filsafat profesional”.
Gerakan ini, pada akhirnya memunculkan suatu reaksi protes feminis terhadap feodalisme kaum laki-laki. Feminis ingin membebaskan diri dari pandangan dan tindakan laki-laki yang merendahkan derajat perempuan. Melalui relasi gender ini mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sederajat dengan kaum laki-laki.
Usaha feminis melalui gerakan gender itu berbeda dari penemuan baru para feminis sendiri. Penemuan baru ini lebih cenderung pada basis suatu teori pengetahuan. Artinya, dalam melihat situasi, feminis mulai menggunakan nalar yang diangkat dari suatu pengalaman. Misalnya, Penghayatan perempuan terhadap nilai pendidikan bukan hanya telah ada dalam masyarakat Indonesia, tetapi penghayatan ini telah ada sejak kesadaran dari seluruh perempuan yang merasa harus bergerak untuk keluar dari belenggu familialisme dalam kungkungan kaum laki-laki. Dalam arti bahwa penghayatan tersebut telah sampai pada tahap yang lebih jauh dari sebelumnya, yakni kesadaran positif untuk menciptakan suatu teori pengetahuan perspektif feminis. Dengan asumsi lain, bahwa feminis terus melakukan rekonstruksi terhadap suatu basis pengetahuan, yang mana rekonstruksi pengetahuan tersebut telah mengubah pola pikir feminis dalam bertindak dan berpikir. Namun persoalan yang muncul adalah apakah kesadaran positif ini telah sungguh-sungguh disadari oleh feminis terutama dalam menerima nalar sebagai basis pemikiran dalam menciptakan suatu pengetahuan?
Beberapa feminis mulai melihat ‘nalar’ sebagai titik awal berpikir yang cukup penting dan sekaligus sebagai basis pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang feminis selain konsep pengalaman harian. Namun beberapa cabang feminis menolak ‘nalar’ sebagai basis di mana akan dibangun epistemologi feminis, dengan alasan bahwa nalar merupakan kodrat laki-laki dan menganggap nalar adalah dasar teori laki-laki yang sangat problematis. Karena alasan ini ada beberapa persoalan yang muncul yaitu, persaingan antara konsep nalar dan konsep pengalaman.
Di sisi positif pengalaman itu sangat penting dan merupakan variabel yang erat dalam mendukung pembentukan pengetahuan feminis. Dengan kata lain, pengalaman secara umum merupakan konsep awal perempuan dalam membebaskan diri dari ruang pembatas yang dibentuk oleh belenggu feodalisme laki-laki. Sedangkan dari sisi negatif, konsep ini banyak mendapat kritik dan juga serangan-serangan dari para pemikir postmodern, karena teori ini tidak mempunyai suatu dasar atau basis dalam mendukung suatu basis teori feminis yang akan dimunculkan. Maka persoalan yang muncul adalah teori yang bagaimana dapat dijadikan basis suatu pengetahuan perspektif feminis? Persoalan tersebut sangat sulit dijawab dan belum ada kesepakatan yang pasti, karena beragam persoalan lain juga terus menerus bermunculan, baik kritik maupun ketidaksepakatan-ketidaksepakatan lain.
Ada beberapa hal yang sangat penting dalam mendukung basis suatu pengetahuan perspektif feminis:
1. Pengalaman Inderawi
Pengalaman merupakan hal yang utama dan yang memungkinkan adanya pengetahuan. pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan manusia dalam interaksinya dengan alam semesta, dirinya sendiri, serta keseluruhan lingkungan sosial sekitarnya, termasuk yang berhubungan dengan yang Ilahi.
Pengalaman yang disadari oleh manusia itu beraneka ragam, selalu berkaitan dengan obyek tertentu di luar diri kita sebagai subyek dan terus bertambah seiring dengan pertambahan umur, kesempatan, dll. Selain itu, pengalaman itu bersifat nyata, ada dan tidak pernah lepas dari manusia itu sendiri. Misalnya, manusia jaman modern, kita ketahui memiliki kecenderungan untuk melihat suatu hal berdasarkan suatu kenyataan atau suatu peristiwa yang memaksudkan sesuatu yang disadari untuk diketahui itu ‘ada’ dan dialami manusia melalui indera, baik indera khusus maupun indera pada umumnya. kenyataan yang dilihatnya itu terjadi melalui kontak dalam suatu kegiatan antara subyek dan obyek. Dengan kata lain, kontak antara subyek dan obyek berlangsung dalam suatu pengalaman atau beberapa pengalaman yang dirasakan, dialami dan direfleksi subyek itu sendiri melalui indera.
Misalnya, feminis sendiri menganggap pengalaman sangat erat kaitannya dengan perempuan dan tidak bisa dipisahkan dari feminis, dalam arti bahwa pengalaman merupakan titik pijak feminis untuk melihat suatu kebenaran. Dengan kata lain pengalaman adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam memunculkan pengetahuan, karena melalui pengalaman itulah muncul suatu gagasan-gagasan yang dapat dipercaya dan aktual serta nyata.
Dari satu segi, asumsi di atas tidak mendapat dukungan dari Kaum Rasionalis. Namun dari segi lain, asumsi tersebut mendapat penilaian positif dari Kaum Empiris. Kaum Rasionalis menolak atau menafikan bahwa peran yang sangat penting dalam pengetahuan adalah indra. Misalnya, Descartes menyebutkan ada tiga hal yang menjadi asal usul gagasan atau ide, yakni (1) pengalaman, (2) konstruksi mental, dan (3) pikiran. Gagasan dari sumber pertama adalah gagasan yang bersifat datang dan pergi, sehingga tak terpercaya. Gagasan kedua merupakan suatu imajinasi manusia sendiri, sehingga masih bisa mengecohkan dan tak nyata. Dan sebagai kesimpulan dari Kaum Rasionalis hanya dari gagasan yang ketiga, yaitu pikiran yang sangat penting dalam pengetahuan. Pikiran dengan gagasan-gagasannya yang bersifat bawaan(innate ideas) bisa diperoleh suatu gagasan yang dapat terpercaya, tidak bisa mengecohkan lagi dan nyata ada dalam ide dan tak teragukan lagi. Sedangkan indra, menurut mereka paling-paling hanya memunculkan gagasan pada tahap kesadaran, tetapi tidak pernah merupakan penyebab munculnya gagasan tersebut.
Kaum Empiris pada umumnya tidak mempercayai pikiran murni sebagai sumber pengetahuan. Bagi mereka pikiran hanya sebatas asosiasi atau terbatas pada gagasan saja serta menangkap kebenaran logis dan analitis. Mereka menyimpulka bahwa semua pengetahuan sejati manusia hanya dapat ditangkap melalui pengalaman inderawi, karena pengalaman inderawi berhadapan langsung dengan dunia fisik yang dapat menuliskan sesuatu di dalamnya.
Pengalaman inderawi dimiliki oleh semua orang, setiap manusia, yang mau menyadari setiap kegiatannya, baik laki-laki maupun perempuan. Pengalaman inderawi juga merupakan suatu faktor penting bagi seseorang dalam mengungkapkan sesuatu khususnya di jaman modern ini. Tanpa suatu kenyataan yang dirasakan oleh indra terlebih dahulu, seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya/ide-ide. Dengan kata lain, Pengalaman inderawi menjadi pilihan bagi perempuan dalam mendukung teori-teori yang ingin dimunculkan mereka sebagai basis suatu pengetahuan. Maksudnya, perempuan memilih basis ini karena dibalik pengalaman yang dirasakan dan dialami mereka, memiliki suatu nilai yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, yaitu kebenaran.
Memang, suatu persoalan yang sulit dihapus dari ide perempuan adalah notabene sebagai manusia kelas dua. Bagi feminis hal itu adalah ironi yang harus dibongkar, karena ironi tersebut merupakan suatu ungkapan negatif yang sulit dihilangkan dari masyarakat kita. Namun dengan adanya ungkapan ini, suatu usaha yang harus ada dalam setiap feminis, yaitu keluar dari kungkungan ungkapan ini.
2. Kesaksian
Seorang saksi merupakan faktor utama yang dapat mengajukan suatu penegasan yang dianggap benar untuk dipercaya. Dipercaya di sini dalam pengertian bahwa menerima sesuatu sebagai benar berdasarkan keyakinan atau jaminan otoritas orang lain yang memberi kesaksian. Pengalaman yang dimiliki feminis juga harus memiliki kesaksian atau bukti yang dapat memperkuat pengetahuan mereka sehingga pengetahuan dianggap benar.
Salah satu yang menjadi kelebihan feminis, yakni keberadaan mereka sebenarnya sudah menunjukkan bahwa mereka adalah saksi. Mereka secara tidak langsung adalah korban kehidupan sosial maupun politik yang didominasi oleh kaum laki-laki termasuk segala teori-teori yang ada di masyarakat. Dengan demikian, pengalaman real perempuan harus disadari sungguh-sungguh karena malalui pengalaman tersebut suatu pengetahuan dapat memunculkan suatu gagasan real.
3. Pikiran dan Penalaran
Tujuan teori pengetahuan perspektif feminis adalah merekonstruksi, mengemas ulang atau menotalkan kembali teori-teori yang telah ada dalam suatu bentuk teori yang dapat dipercaya dan secara umum dapat mengatasi problematis-problematis yang ada di tengah-tengah kehidupan masssyarakat yang beranekaragaman. Tujuan tersebut dapat berkembang apabila feminis(yang mempunyai peran utama) mulai menerapkan pikiran dan nalar.
Pengetahuan yang hanya difondasikan oleh suatu pengalaman sangat terbatas dan tidak akan mampu untuk melawan teori-teori yang ada. Untuk itu, epistemologi feminis dalam mengembangkan pengetahuannya, juga harus melakukan pendekatan dengan ilmu-ilmu lain. Tanpa ada perbandingan atau evaluasi serta kritik dari pengetahuan yang lain tidak akan menemukan kebenaran. Dengan kata lain, feminis dengan teori yang dimunculkannya tidak eksklusif terhadap ilmu pengetahuan lainnya. Setiap ilmu pengetahuan mengandung suatu unsur kebenaran tersendiri.
4. Perlunya Kesadaran dan Sikap Kritis
Setiap pengetahuan yang ada selalu merupakan hipotesa-hipotesa karena ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan jaman, situasi, dan subyek yang mengalaminya. Tanpa kesadaran dan sikap kritis terhadap setiap obyek pengetahuan yang muncul, pengetahuan tidak akan berkembang dan menemukan suatu kesepakatan-kesepakatan. Feminis juga harus mengetahui dan menyadari bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan-pendekatan dari suatu peristiwa atau pengalaman, perlu dikritisi, agar mencapai suatu kesepakatan-kesepakatan atau kebenaran.
D. KESIMPULAN
1. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa feminis menentang teori-teori patriarki dan pengetahuan perspektif laki-laki, yang menganggap nalar atau rasio merupakan sumber utama atau asal usul munculnya suatu gagasan atau ide. Teori-teori tersebut selama ini benar, tetapi menurut feminis yang melahirkan perempuan gelombang kedua, dalam kenyataannya teori-teori tersebut sangat problematis dan belum menemukan suatu titik pijak yang jelas dalam menemukan suatu kebenaran, karena hanya mengandalkan rasio atau nalar tanpa melihat segi yang lain, sehingga banyak problem yang muncul dan sangat merugikan feminis.
2. Problem-problem yang ada dan dirasakan, dialami feminis, baik langsung maupun tidak langsung membuat para feminis sadar akan keberadaan mereka. Keberadaan mereka bukan hanya sebatas sebagai manusia kedua setelah manusia pertama(laki-laki) dalam kisah penciptaan, namun keberadan mereka juga sebagai manusia yang dapat berpikir, menginderai, memunculkan gagasan atau ide yang mungkin melebihi kaum maskulin. Kesadaran itu juga merupakan titik pijak awal feminis dalam berpendapat atau berkeinginan menciptakan suatu basis teori. Salah satu contoh dari bentuk kesadaran feminis terhadap keberadaan mereka, yaitu perdebatan feminis baik dari dalam feminis sendiri maupun dari luar, yang memuncak pada abad-18 dan 19.
3. epistemologi feminis dapat diartikan suatu bentuk rekonstruksi, pengulasan kembali atau penotalan kembali pengetahuan untuk memperoleh suatu kesepakatan-kesepakatan dalam diri feminis sendiri atau dari luar feminis. Dalam hal ini titik awal feminis adalah melihat pengalaman sebagai suatu faktor utama yang sangat penting, karena melalui pengalaman itu mereka dapat memperoleh suatu kesadaran akan keberadaan mereka sehingga mencapai suatu gagasan-gagasan atau ide baru.
4. feminis tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman mentah atau sekedar menerima saja, tetapi pengalaman yang ada perlu diperkuat dengan kesaksian atau bukti, pikiran dan penalaran serta sikap sadar dan kritis, sehingga pengetahuan mereka dapat dipercaya.
5. pada akhirnya, pengetahuan perspektif feminis, diajak untuk melihat pengalaman sehari-hari sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena kerap kali laki-laki mengabaikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Vuuren, Nancy Van. Work & Career, Manage Work outside and within the Home.
WANITA dan KARIER: Bagaimana Mengenal dan Mengatur Karya, terj. A.
G. Lunandi(Yogyakarta: Kanisius, 1988).
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Abdullah, Irwan, Dr. (ed.). Sangkan Paran GENDER. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset UGM, 1997.
Sajogyo, Pudjiwati, Dr. Ir. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarkat Desa.
Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1989. Cet. 2.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar