Sabtu, 28 Februari 2009

KONSEP EKSISTENSI ALLAH MENURUT BONAVENTURA

KONSEP EKSISTENSI ALLAH MENURUT BONAVENTURA

1. PENGANTAR

Abad pertengahan (abad ke 7-14)[1] harus dikatakan sebagai jaman yang sangat harmoni. Gagasan baru serta cara pandang baru begitu mempengaruhi pola pikir manusia. Manusia seolah-olah diinspirasi untuk terus menerus menemukan hal-hal baru. Permulaan abad ini didukung dengan adanya ketenangan politik di Eropa pada masa pemerintahan raja Karel Agung[2]. Pada masa inilah kehidupan berbudaya mulai bangkit dan sekaligus berkembangnya ilmu pengetahuan dan kesenian. Ilmu pengetahuan ditandai dengan munculnya para pemikir agung yang diawali St. Agustinus, dan diteruskan pemikir besar lainya[3]. Para pemikir besar ini sebagian besar adalah para kaum religius Gereja. Karena itu, sedikit banyak pemikiran mereka selalu dikaitkan dengan filsafat yang berlatarbelakang kekristenan.

Filsafat abad pertengahan disebut juga dengan filsafat Skolastik. Filsafat Skolastik dibagi menjadi tiga periode[4], yakni Skolastik awal, Skolastik puncak dan Skolastik akhir. Salah satu tokoh Skolastis abad pertengahan yang akan didalami berikut ini adalah St. Bonaventura. Dia adalah salah satu teolog sekaligus filsuf Skolastik puncak, selain Albertus Magnus, Thomas Aquinas dan Johannes Don Scotus. Dalam salah satu pemikirannya, Bonaventura memberikan suatu refleksi filosofis mendalam tentang eksistensi Allah dan sejauh mana realitas ciptaan sebagai ada itu dapat menghantar kepada Allah, sebagai Ada yang Pertama. Pemikirannya ini berorientasi dari pemikir-pemikir sebelumnya, yakni Dionysius Areopagita dan Agustinus.

2. Pembahasan

2.1. Hidupnya

St. Bonaventura adalah seorang teolog sekaligus filsuf abad pertengahan periode Skolastik Puncak. Dia pernah hidup sejaman dengan Albertus Magnus dan Thomas Aquinas. Bonaventura dapat dikatakan sebagai seorang pemikir terbesar dari Fransiskan selain Thomas Aquinas dari Dominikan pada abad yang agung ini. Bonaventura atau Giovanni Fidanza, lahir di Bagnorea, Tuscany pada tahun 1221[5]. Ada satu pengalaman penting yang pernah dialami Bonaventura ketika ia masih kecil. Saat itu, Bonaventura sembuh dari sakit karena doa ibunya melalui perantara St. Fransiskus Asisi, lantas, karena peristiwa ini ia masuk Ordo Fransiskan. Peristiwa ini penting karena berkat usaha ibunya dia mengenal ordo Fransiskan.

Dalam pembinaan sebagai seorang Fransiskan, ia dapat mengenyam pendidikan di Paris di bawah bimbingan Aleksander dari Hales sebelum kematian Alexander tahun 1245[6]. Jasa Alexander ia cukup besar bagi Bonaventura, karena gurunya ini mampu memberikan kesan luar biasa bagi dia. Dapat dikatakan, Alexander membuat suatu gerakan perubahan yang besar bagi muridnya ini. Peristiwa ini dinyatakan Bonaventura dalam tulisannya praeculatio Proemio in Secundum librum Sentetiarum Praemisa seperti yang dikatakannya dalam buku pertamanya Sentences[7].

Bonaventura tidak menyelesaikan studinya di Paris karena ia lebih tertarik untuk menekuni bidang filsafat. Seperti halnya Thomas Aquinas, ia tidak tertarik dengan hal-hal dunia, seperti jabatan atau pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Ia menolak menjadi seorang staff di universitasnya (1255). Namun, sejak tahun 1256 ia memikirkan kembali hal itu dan menerima jabatan itu; hal ini sekaligus menjadikan dia sebagai guru besar di sana (Profesor Theologi)[8]. Selain itu, pada tahun yang sama bulan Februari, ia diangkat menjadi pemimpin Ordonya. Selanjutnya atas bujukan Paus, dia diangkat menjadi Uskup agung York, kemudian uskup Albano dan pada tahun 1273 diangkat Paus menjadi Kardinal. Ketika Konsili di Lyon dia hadir serta berkotbah pada reuni Gereja Barat dan Roma, tetapi ketika akhir Konsili Lyon ia meninggal, pada 15 Juli 1274[9].

Berikut ini ada beberapa karya yang pernah ditulis Bonaventura sejak tahun 1259[10]:

- Itinerarium mentis in Deum ditulis tahun 1259

- Biografi St. Fransiskus ditulis tahun 1261

- Collationes de decem Praeceptis (lenten sermons) ditulis tahun 1267-1268)

- De decem donis Spiritus Sancti (kira-kira tahun 1270)

- Collationes in Hexaemeron ditulis tahun 1273

- Breviloquium ditulis sebelum tahun 1257

- De Mysterium Trinitaris

- Sentetiarum

- The Five Feast of the Child Jesus

- Prayer after Communion

- COMMENTARIA IN QUATUOR LIBROS SENTENTIARUM

- Collationes de Septem Donis S. Sancti

- Christus Unus Omnium Magister (Christ the One Teacher of All)

- Commentarius in Primun Librum sententiarun Petri Lombardi

- De Reductione artium ad Theologiam

- Legenda Minor

- Legenda Maior

- Les Six Illuminations de cette vie

- La Triple Vie

- Speculum discipline ad novicios

- Exempla sacre scripture

- De Castitate et munditia sacerdotum

- Opuscula Ordinis minorum de observantia

2.3. Pemikirannya tentang Eksistensi Allah

Bonaventura melihat segala sesuatu, jasmani maupun rohani, selalu dihubungkannya langsung dengan Allah. Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada. Hal ini hendak mengatakan bahwa semua ciptaan Allah tidak ada yang sempurna, kekal. Melalui ciptaan yang tidak sempurna ini Allah hadir. Latar belakang pemikirannya ini didasarkan pada pemikiran St. Agustinus dan Dionisius dari Areopagus. Menurut Bonaventura Allah hadir, Allah ada dan merupakan suatu realitas yang jelas sekali. Bagaimana ia memahami realitas Allah yang ada?

Bertolak dari pemikiran St. Agustinus[11] tentang eksistensi Allah, yang melihat ada hubungan jiwa dan Allah, Bonaventura memahami eksistensi Allah dari realitas ciptaan. Ia memulai pemikirannya tentang eksistensi Allah juga dari relasi jiwa menuju Allah (akar dari eksistensi Allah). Bukti-bukti nyata dalam relasi ini dapat disimak dalam suatu tahap dalam pendakian jiwa menuju Allah (mistis).

Jiwa mampu mencapai Allah karena realitas Allah dapat ada dalam tiap bentuk pengetahuan yang pasti. Allah bukanlah sebatas pengertian sebagai suatu prinsip inteligibilitas yang abstrak[12]. Tetapi Allah adalah obyek doa manusia, bukan pertama-tama tujuan jiwa manusia. Allah adalah tujuan hidup manusia (menurut kesadaran iman orang-orang Kristen). Dengan kata lain, Bonaventura melihat Allah sebagai pencipta segala sesuatu. Dan yang lain bukanlah Allah tapi mahkluk ciptaan (ada yang diciptakan).

Allah dapat dipahami melalui manifestasi-Nya, baik dalam dunia materi atau dalam gambaran dunia jiwa itu sendiri. Allah hadir dalam dunia sensibilis[13]. Melalui dunia sensibilis ini (pengetahuan yang terbatas, ketidaksempurnaan, sesuatu yang bergerak/mengalir, dan ada manusia yang kontingen) dapat sampai pada pemahaman akan ketakterbatasan, kesempurnaan kesederhanaa, dan ada yang tetap. Dengan kata lain, melalui ada ada yang lain (ciptaan) manusia dapat sampai pada realitas kesempurnaan Allah.

Bonaventura yakin bahwa eksistensi Allah itu sangat jelas melalui refleksi jiwa (berasal dari ciptaan). Jiwa di satu pihak terikat dari dunia, tetapi di lain pihak terlepas dari dunia. Dunia memiliki ketidaksempurnaan dan keterbatasan karena berisi benda-benda yang kontingen[14]. Namun ada yang tidak sempurna dan terbatas ini menuntut dan menunjukkan eksistensi Allah Sang Kesempurnaan yang absolut. Dengan kata lain, gagasan tentang ketidaksempurnaan mensyaratkan ide dari kesempurnaan.

Gagasan/ide kesempurnaan atau sesuatu yang sempurna itu tak dapat dicapai melalui cara abstraksi. Karena itu, ada yang tidak sempurna dan terbatas membawa jiwa kepada pengetahuan yang pasti. pengetahuan di sini lebih menunjuk kepada pengetahuan inderawi yang menjadi obyek akal budi. Persoalan lebih lanjut, bagaimana pengetahuan (akal budi ) dapat sampai pada pemahaman bahwa ada sebagai mahkluk ciptaan (being) yang tidak sempurna dapat menjadi sarana untuk mengenal Allah?

Mahkluk Ciptaan merupakan Pengungkapan Eksistensi Allah

Allah menjadikan dari yang tidak ada menjadi ada, dengan kata lain, Allah menciptakan ada dari ketiadaan[15]. Dari pemahaman ini, Bonaventura berpendapat bahwa eksistensi Allah dapat dibuktikan, ditunjukkan dari mahkluk ciptaan Allah. Mahkluk ciptaan atau being memiliki keterbatasan, yang diciptakan Allah menjadi gambar Allah yang baik. Karena being ini tidak hadir dengan sendirinya dan diciptakan Allah, maka being atau segala sesuatu yang diciptakan itu akan kembali lagi kepada Allah. Namun, bukan berarti bahwa relasi antara Allah dan mahkluk ciptaannya jauh. Justru, karena prakarsa Allah sebagai Penyebab pertama, mahkluk ciptaan itu dapat sampai pada realitas Allah. Allah bukan obyek yang tidak sempurna dalam mahkluk ciptaannya tetapi kedudukan Allah ada sebagai Penyebab dari segala yang disebabkan[16]. Dengan kata lain, Allah memiliki kemampuan untuk mempengaruhi ada yang diciptakan.

Ada yang diciptakan memiliki potensi dan aktus[17]. Artinya, segala sesuatu yang diciptakan Allah tersusun dari materi dan bentuk. Ada yang diciptakan ini memiliki status yang tidak sempurna, karena tersusun dari materi atau bahan yang tidak tetap, kekal. Maka, dari realitas ini, tidak ada yang lain selain Allah yang memiliki aktus yang murni (hanya Allah). Karena pada Allah segala sesuatu adalah sempurna. Para malaikat sebagai mahkluk yang murni rohani karena tersusun dari materi dan bentuk tertentu, sedang segala mahkluk ciptaan lain termasuk manusia hanya tersusun dari materi dan bentuk. Namun, manusia memiliki zat ilahi karena manusia memiliki akal budi yang membedakannya dengan mahkluk yang lain. Dengan kemampuan akal budinya manusia dapat mengenal realitas ciptaan lain dan mampu menghubungkannya dengan Sang penciptaan. Dengan kata lain manusia memiliki terang dalam dirinya untuk mengenal Allah sekalipun terang itu terikat dengan keadaan dunia (terbatas)

Manusia dapat sampai pada pengetahuan akan Allah ini apabila pengetahuan dapat masuk akal bagi dirinya. Artinya, pengetahuan itu menyentuh pengalaman sensibilisnya sebagai pengalaman yang bisa dipahami sebatas pengetahuan manusia (pengetahuan inteligibilia). Aristoteles juga merefleksi tentang hal ini bahwa untuk sampai pada Allah salah satu cara adalah melalui pengenalan obyek sensibilis, yakni realitas ada yang dapat diinderawi oleh akal budi manusia.

Mengenai eksistensi Allah sebagai Ada yang menjadi ada Pertama dapat dipahami dalam karyanya Hexaemeron dan De Mysterio Trinitaris[18]. Dalam Hexaemeron dia berpendapat bahwa jika ada ada yang diciptakan, maka disana harus ada Ada yang menjadi Ada Pertama. Ada pertama ini harus menjadi Penyebab. Jika ada ada ab alio, ada di sana harus menjadi ada a se: jika ada ada yang tidak sempurna, maka harus ada Ada yang sempurna. Jika ada ada yang tidak tetap, berubah, maka harus ada Ada yang tetap, ada yang bergerak digerakkan oleh ada yang tidak dapat digerakkan quia mobile reducitur ad immobile. Pernyataan terakhir ini adalah referensi yang mengacu pada bukti Aristotelian atas eksistensi penggerak yang tidak dapat digerakkan. Di satu sisi, Bonaventura sebenarnya menentang pemikiran Aristoteles. Misalnya tentang metafisika. Bagi Bonaventura Allah dalam pemahaman metafisika Aristoteles tidak sama dengan Allah dalam pandangan orang Kristen.

Dalam De Mysterio Trinitaris, Bonaventura memberikan suatu bagian argumen-argumen singkat untuk menunjukkan dengan jelas bagaimana makhluk-mahkluk ciptaan menyatakan keeksistensian Allah. Misalnya, jika ada ens ab alio, maka harus ada ens non ab alio, karena tak ada sesuatu pun yang dapat membawa ada itu sendiri keluar dari status non – being (ada) ke dalam status ada, dan akhirnya harus ada yang menjadi ada Ada pertama yang adalah diri ada. Dengan kata lain jika ada ens in potentia, maka harus ada ens in actu.

Lebih lanjut dalam karyanya ini, Bonaventura menyatakan bahwa dunia sensibilis menjadi cermin kehadiran Allah. Bagaimana manusia dengan sensibilis memahami eksistensi Allah? Manusia memiliki kemampuan akal budi dan melalui akal budi ini ia mampu merefleksikan obyek sensibilis. Dengan kata lain, refleksi manusia dapat sampai kepada Allah hanya melalui tindakan jiwanya. Artinya, refleksi ini merupakan suatu pendakian jiwa menuju Allah (tahap pertama)[19]. Tahap selanjutnya yang sangat penting adalah bahwa eksistensi Allah itu adalah kebenaran yang tidak ragu-ragu; Allah sungguh-sungguh ada. Dari mana manusia tahu bahwa Allah itu adalah kebenaran yang pasti (jelas)? Dari setiap mahkluk ciptaan. Setiap mahkluk sungguh-sungguh menyatakan kehadiran Allah. Kehadiran Allah harus ditunjukkan melalui pengetahuan a priori.

Manusia adalah mahkluk yang memiliki kemampuan sensibilis dan sekaligus cermin diri Allah. Dengan kemampuan sensibilis ini, ia mampu mengarahkan refleksi akal budinya pada Kebaikan tertinggi, yakni Allah. Jadi pengalaman inderawi (a posteriori) manusia dalam hal ini sangat terbatas dan tanpa pengetahuan a priori manusia tidak akan sampai pada pengetahuan akan Allah. Dengan kata lain, dalam diri manusia (human) terdapat realitas Allah (zat ilahi). Realitas ini dapat berkomunikasi hanya melalui jiwa. Sekalipun jiwa menyatu dengan tubuh, tetapi ia adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Dengan demikian, manusia dalam hal ini tidak hanya berperan sebagai cermin diri Allah tetapi juga dalam dirinya terdapat sarana yang dapat menghubungkannya dengan Allah secara langsung, yakni jiwa yang membawa terang kehadiran Allah.

3. PENUTUP

Bonaventura berasumsi bahwa eksistensi Allah adalah suatu ada yang pasti. Ada yang pasti ini dapat ditemukan dalam mahkluk ciptaannya termasuk juga manusia. manusia memiliki posisi yang istimewa dari mahkluk ciptaan lain, yakni akal budinya. Akal budi manusia merupakan suatu anugerah dari Allah sendiri. Dan melalui terang akal budi ini, manusia mampu membuktikan bahwa Allah itu dekat dan ada; Allah itu adalah sang pencipta sekaligus Penyebab dan penggerak pertama (aktus Purus). Dialah yang memiliki kesempurnaan murni.

Realitas bahwa Allah ada mendorong manusia untuk mengarahkan refleksi akal budinya kepadaNya. Manusia tidak berhenti untuk mencapai kebenaran-kebenaran itu sampai realitas itu dapat dirasakan pengalaman inderawinya.

Pemikiran Bonaventura mengungkapkan suatu refleksi yang mendalam bahwa Allah ada. Allah tidak lenyap dari pemikiran manusia bahkan Allah dapat dirasakan kehadirannya melalui segala ciptaan (kontingen). Dengan kata lain, Bonaventura mendorong kita untuk menyadari bahwa Allah itu bukanlah pribadi yang jauh dan diam. Allah hidup dan berkarya di tengah-tengah manusia. Hanya manusia yang memiliki jiwa dan akal budi (mampu memahami pengertian universal) dapat sampai pada eksistensi Allah. Karena itu, pemikiran Bonaventura mereflesikan suatu gagasan yang sangat mendalam, yang harus disadari, direfleksikan serta diusahakan sampai pada penemuan akal budinya, yakni Sang Kebenaran sejati.

Relevansi untuk saat ini. Pemikiran Bonaventura secara tidak langsung mengajak manusia untuk senantiasa sadar akan lingkungan dunianya. Lingkungan atau segala yang ada tercipta, baik binatang maupun alam semesta harus dihargai. Segala yang tercipta ini bukan “sekedar ada” tetapi dari dirinya sendiri menampakkan kemuliaan, kebesaran Allah, yang menjadi Penyebab dan penggerak Pertama dari segala sesuatu yang ada. Dan kiranya, hal ini harus menjadi pegangan bagi manusia jaman sekarang, yang memiliki kelemahan dalam melihat pentingnya alam semesta sebagai wujud kehadiran Allah. Karena itu, Peringatan hari “Lingkungan Hidup” (tgl 5 Juni) yang diperingati setiap tahun harus merupakan suatu bentuk kesadaran manusia akan pentingnya segala ciptaan Allah. Dengan kata lain, peristiwa ini harus sungguh-sungguh menjadi tanda bahwa manusia tahu dan sadar bahwa segala ciptaan Allah merupakan wujud kehadiran Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Copleston, Frederick, S. J., A History Of Philosophy Vol 2: Mediaeval Philosophy Part I

(Augustine to Bonaventure), Maryland: Newman Press, 1950.

Fremantle, Anne, Age of Belief, New York: The New American Library, 1954.

Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual (Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari

Zaman Yunani Hingga Zaman Modern), Yogyakarta: Kanisius, 2004.

http://www. Fransiscan-archive.org. (Diakses tgl. 26 Mei 2008).



[1] Mengenai abad ini muncul banyak Versi dari para ahli, seperti disebut sebagai ‘Age of Belief’, ‘Age of Faith’. Bdk. Anne Fremantle, Age of Belief, (New York: The New American Library, 1954). hal. X .

[2] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980). hal. 87.

[3] Seperti Thomas Aquinas, Bonaventura, John Dun Scotus, …dsb.

[4] Bdk. Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern), ( Yogyakarta: Kanisius, 2004). hal. 105.

[5] Frederick Copleston, S. J., A History Of Philosophy Vol 2: Mediaeval Philosophy Part I (Augustine to Bonaventure), (Maryland: Newman Press, 1950). hlm. 269.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid. hal. 270.

[9] Ibid. hal. 270.

[10] http://www. Fransiscan-archive.org. (Diakses tgl. 26 Mei 2008).

[11] Ibid., hal. 89.

[12] Ibid., hal. 280.

[13] Ibid., hal. 281.

[14] Ibid., hal. 281.

[15] Ibid., hal. 281.

[16] Ibid., hal. 281.

[17] Ibid., hal. 282.

[18] Ibid., hal. 281-283.

[19] Ibid., hal. 282.

FENOMENOLOGI MARTIN HEIDEGGER


FENOMENOLOGI MARTIN HEIDEGGER

Kebebasan berpikir merupakan karakter utama periode modern. Periode jaman modern lebih mementingkan keterlibatan subyek terhadap segala kenyataan yang dilihat, disadari dan dialaminya setiap hari. Kebebasan berpikir seperti ini mengandaikan adanya suatu kesadaran bahwa saya sebagai subyek harus kembali kepada kenyataan. Kebebasan berpikir ini juga menunjukkan bahwa manusia tidak pernah selesai dalam mencari kebenaran. Manusia semakin tekun dalam mencari rahasia tersembunyi dari hakikat alam dan manusia(termasuk proses di dalamnya). Maka, menurut Edmund Husserl diperlukan suatu pendekatan yang membebaskan kita dari semua prasangka agar gejala-gejala(fenomena) dapat menyatakan diri kepada kita. Pendekatan ini ia sebut dengan ‘filsafat fenomenologi’. Filsafat fenomenologi sendiri dikembangkan dan dirumuskan oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20. Kata fenomenologi berarti ilmu tentang hal-hal yang menampakkan diri(phainomenon). Pada akhir refleksinya, Edmund Husserl menemukan dan memberi kesimpulan bahwa fenomenologi itu adalah pendekatan yang mensyaratkan bahwa kesadaran manusia harus terarah pada kesadaran akan sesuatu, yakni kesadaran intensionalitas. Namun, apakah fenomenologi Edmund Husserl ini disetujui oleh Heidegger sebagai seorang pengikut aliran fenomenologi? Lalu apakah fenomenologi yang digunakan Heidegger ini mengutip fenomenologi Husserl? Apakah fenomenologi Heidegger merupakan pendekatan untuk mengerti dan memahami buku karangannya tentang Ada dan Waktu ? atau apakah fenomenologi Heidegger ini mampu mengantar akal budi manusia untuk menangkap inti hakiki dari gejala dalam artinya yang asli?
Martin Heidegger adalah seorang fenomenolog sekaligus filsuf Jerman. Ia berasal dari keluarga sederhana. Pada tanggal 26 September ia dilahirkan dikota Messkirch. Pada tahun 1909 ia masuk Universitas Freiburg untuk belajar fakultas teologi. Setelah mempelajari teologi selama empat semester, ia mengalihkan perhatiannya kepada studi filsafat, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Berikutnya, pada tahun 1916 Edmund Husserl datang ke Freiburg sebagai rektor di universitas tersebut. Kedatangan Husserl merupakan suatu peristiwa yang penting bagi Heidegger. Mengapa? Karena kedatangan Husserl ini semakin memperkuat Heidegger untuk lebih memperdalam filsafat fenomenologi, yang sudah lama menjadi perhatiannya. Dia juga yakin bahwa melalui pergaulan langsung dengan pendiri fenomenologi, dia akan menguasai betul maksud dan jangkauan cara berfilsafat Husserl, khususnya tentang filsafat fenomenologi. Husserl sendiri menganggap Heidegger sebagai seorang murid yang pandai dan cerdas, sehingga karena kepandaiannya itu ia diangkat Husserl sebagai asistennya. Lalu bagaimana kita dapat memahami fenomenologi Heidegger setelah ia sendiri mengenal Husserl sebagai pendiri aliaran fenomenologi?
Pertama-tama, kita harus mengetahui bahwa heidegger bukan hanya seorang fenomenolog, tetapi ia juga adalah seorang filsuf yang menaruh perhatian pada Filsafat Eksistensialisme. Melalui filsafat ini, ia berusaha menghubungkan pertanyaan metafisis filsafat barat ke arah pertanyaan ontologis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut makna keberadaan. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang mengada atau apa artinya untuk berada karena pengaruh filsuf sebelumnya seperti Plato, Descartes, maupun pada periode pencerahan. Namun pertanyaan tentang Ada ini berasal dari pertanyaan filsafat barat tradisional, yakni apa yang menjadi gagasan Parmenides. Singkatnya, melalui pertanyaan ontologis ini kita dapat mengetahui bagaimana heidegger mulai menerapkan fenomenologinya, terutama bagaimana mendekati Ada sebagai sebuah fenomen? Menurut Heidegger, untuk mendekati Ada sebagai sebuah fenomen, kita harus membiarkan Ada “menampakkan diri pada dirinya sendiri”. Artinya, dalam mendekati Ada kita tidak memaksakan penafsiran-penafsiran kita begitu saja, melainkan membuka diri, yaitu membiarkan Ada terlihat. Maka, sikap yang tepat terhadap Ada adalah membuka diri, bukan hanya menganalisis. Sikap membuka diri ini terlihat dari seseorang yang kerap merasa heran terhadap fenomen ada, mengapa segala sesuatu itu ada atau tiada? atau apa artinya semua itu bagi kehidupan manusia? Memang, pertanyaan ini mungkin tak akan pernah terjawab, tetapi pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang bertanya karena keingintahuan terhadap suatu fenomen ada. Pertanyaan ini muncul ketika hati kita tidak hanyut dalam arus kehidupan sehari-hari, yaitu kalau kita bermenung dan berefleksi. Menurut Heidegger pada momen inilah hati kita terbuka terhadap Ada; dan Heidegger mengambil momen keterbukaan hati ini sebagai cara mendekati fenomena Ada.
Sehubungan itu, Heidegger juga menambahkan bahwa penampakan Ada tidak muncul begitu saja atau tidak sesederhana yang manusia pikirkan. Mengapa? Karena menurut Heidegger, tidak seluruh ada menampakkan diri. Jenis penampakan ada itu dapat bermacam-macam. Oleh karena itu, subyek harus jeli dalam memilah-milah penampakan ada. Ada dua hal penampakan yang harus menjadi perhatian khusus kita menurut Heidegger, yakni pertama, sesuatu bisa menampakkan diri seolah-olah mirip sesuatu(penampakan kemiripan). Kedua, sesuatu itu juga dapat menampakkan diri sedemikian rupa sehingga muncul sebagai sesuatu yang lain, sementara keasliannya tetap tersembunyi dibalik penampakannya. Misalnya, demam itu adalah penampakan dari suatu penyakit, namun penyakit itu sendiri tidak menampakkan diri. Dengan kata lain, terjadi suatu penyingkapan diri sesuatu yang tidak menampakkan diri, artinya dalam penampakannya Ada menyembunyikan diri. Maka, menurut Heidegger dalm hal inilah fenomenologi dapat dipakai untuk mengakses Ada apabila subyek membiarkan Ada terlihat; dan dengan demikian, subyek dapat menemukan penampakan yang sejati, yaitu makna terdalam dari Ada itu sendiri
Pendekatan yang dipakai Heidegger di atas berbeda dengan pendekatan yang dipakai Husserl. Heidegger meradikalkan konsep Husserl tentang intensionalitas, yaitu keterarahan kesadaran. Menurut Husserl, kesadaran kita selalu terarah pada pada sesuatu di luarnya. Untuk kesadaran ini Husserl memaksudkannya sebagai suatu kesadaran akan sesuatu. Bagi Heidegger, kesadaran kita tidak hanya kesadaran akan sesuatu, tetapi juga kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Maksudnya, kita tidak sekedar menyadari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang turut membentuk kesadaran kita. Misalnya, kita hidup di dalam dunia, maka dunia ini yang membentuk kesadaran kita. Heidegger juga menambahkan bahwa kesadaran dalam dunia tidak hanya itu, tetapi kesadaran akan dunia memiliki banyak bentuk, misalnya suasana hati yang berkaitan dengan perasaan. Kesadaran seperti ini Heidegger sebut sebagai kesadaran dalam sesuatu. Dengan kata lain, Heidegger menganggap bahwa kesadaran murni seperti yang dibayangkan Husserl tidak ada.
Dari uraian singkat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertama, fenomenologi Heidegger adalah suatu ontologi menyangkut kenyataan. Fenomenologi Heidegger berusaha memaknai Ada sebagai sebuah fenomen yang utama dari kesadaran manusia. Kedua, dengan memahami fenomenologi Heidegger kita diarahkan untuk memahami karyanya yang cukup sulit dipahami, yaitu tentang Ada dan Waktu. Ketiga, sebagai seorang filsuf eksistensialis dan fenomenolog, Heidegger mengajak manusia untuk kritis dan jeli dalam memaknai pengalaman sehari-hari, khususnya berkaitan dengan begitu banyak penampakan yang mirip dan yang kerap menipu penglihatan manusia.

KESADARAN SEBAGAI PASAK PADA POROS FEMINIS DALAM MEMBANGUN TEORI PENGETAHUAN

KESADARAN SEBAGAI PASAK PADA POROS FEMINIS DALAM MEMBANGUN TEORI PENGETAHUAN

A. PENDAHULUAN

Feminisme merupakan suatu paham yang muncul lewat proses kesejarahannya sendiri, yaitu berawal dari fakta-fakta eksploitasi laki-laki dan perempuan. Kelompok laki-laki(maskulin) merasa lebih tinggi(superior) dari pada perempuan. Fakta-fakta yang terjadi tersebut membuat laki-laki mendominasi segala aktivitas, baik intelektual(pengetahuan) maupun pengalaman dunia sosial. Misalnya dalam sebuah buku karangan Nancy Van Vuuren tentang Wanita dan Karier, memberikan suatu pemahaman kerja dalam karier wanita, bahwa:

“Wanita mengurus rumah dan anak-anak supaya pria dapat pergi bekerja.
Wanita adalah perawat yang memungkinkan dokter mengerjakan seni
penyembuhan.
wanita mengurus kantor, menjawab telepon, mengatur surat menyurat dan
arsip, agar pria dapat melaksanakan tugas mengambil keputusan.
Wanita pelayan menyajikan makanan pada santapan bisnis para pria, atau pada
pria yang berkencan dengan perempuan.”

Pemahaman ini merupakan suatu anggapan yang melegitimasi(mutlak benar) selama berabad-abad lamanya. Seolah-olah pemahaman perempuan tersebut merupakan pemahaman yang paling cocok untuk perempuan.
Banyak contoh terhadap keberadaan feminis berkaitan dengan pemahaman semacam itu mendapat tanggapan yang serius dari para feminis yang sadar untuk bertindak atau bersuara, khususnya perlawanan para feminis yang dianggap berasal dari jaman abad pencerahan. Perempuan sebagai manusia kelas dua menjadi topik aktual jaman modern pada abad 18 sampai pada abad 19, walaupun pada penghujung abad 16 dan akhir abad 17 mereka telah menciptakan suatu gerakan yang memegang janji bagi pengetahuan tentang relasi gender yang lebih baik dan meningkat. Abad 18 dan 19 problem perempuan mencapai puncaknya dalam perdebatan seputar permasalahan dan bentuk epistemologi feminis .
Perdebatan dan bentuk epistemologi feminis merupakan suatu usaha pembebasan para feminis dan penciptaan ruang khusus bagi mereka dalam menantang teori-teori patriarki yang selama ini dianggap benar. Dengan kata lain metode ini adalah suatu temuan baru bagi kaum feminis dalam mengungkapkan gagasan-gagasan.
Menurut MCNeil, perempuan yang melahirkan feminis gelombang kedua, dianggap sebagai anak perempuan dari pencerahan, karena mereka dipandang mewarisi beberapa asumsi pencerahan. Mereka membuat suatu strategi kunci untuk melawan penindasan dan patriarki. Bagi MCNeil problem ini adalah suatu pola baru antarperempuan karena meningkatnya kesadaran. Feminis melalui kesadarannya menciptakan suatu pengetahuan perspektif feminis.

B. POKOK MASALAH

Feminis sebagai motor utama dalam menciptakan teori pengetahuan beranjak dari kesadaran terhadap pengalaman secara umum. Kesadaran terhadap pengalaman ini, apakah merupakan suatu kesadaran untuk mengetahui sesuatu dibalik pengalaman yang mereka alami, baik secara langsung maupun tidak langsung? Dengan kata lain dapatkah feminis menggali suatu basis teori dari suatu pengalaman? Dan dengan adanya kesadaran tersebut, apakah feminis mampu mengembangkan dan membuka tabir keterpasungan mereka dari kaum maskulin dengan segala tindakan dan gagasan-gagasan yang dianggap melegitimasi secara mutlak dengan teori pengetahuan baru perspektif feminis? Lebih jauh lagi, teori apa yang dianggap dapat memperkuat basis pengetahuan mereka dan dapat dijadikan basis pengetahuan dalam dunia modern?

C. PEMBAHASAN

“Kesadaran untuk menciptakan pengetahuan dari perspektif feminis”

Mengetahui sesuatu merupakan suatu kegiatan sadar manusia. Mengetahui sesuatu dimengerti sebagai kegiatan kesadaran manusia apabila manusia memahami dan mengalami serta menegaskan putusan tentang suatu obyek yang dihadapinya dengan sadar bahwa saya sadar akan sesuatu. Setiap manusia juga perlu mengetahui bahwa tidak semua kegiatan sadar manusia itu bersifat kognitif atau bersifat pengetahuan. Tetapi manusia juga perlu mengetahui bahwa semua kegiatan mengetahui merupakan kegiatan sadar.
Kegiatan sadar kita sebagai manusia secara umum sangat erat kaitannya dengan mental kita. Kita diberi anugerah untuk dapat membedakan antara kegiatan sadar dan segala obyek didalamnya. Kalau kita terfokus pada obyek atau isinya berarti kita mempunyai kesadaran secara langsung. Sebaliknya, kalau perhatian kita terfokus pada kegiatanya berarti kita tidak menyadari kegiatan itu secara langsung atau bersifat refleksif dalam pengertian bahwa kita sadar akan sesuatu. Dalam kesadaran tidak langsung atau reflektif akan suatu obyek, kita sebenarnya juga bisa sadar akan kesadaran kita, tetapi fakta ini tidak secara eksplisit diketahui. Sebenarnya, dalam kegiatan reflektif ini ada kecenderungan bahwa orang sengaja menyadari apa yang disadarinya.
Dalam uraian di atas sangat nampak bahwa subyek dan obyek merupakan sesuatu yang sangat penting, dimana kedua-duanya harus ada. Mengapa? Karena subyek dan obyek adalah dua faktor yang membentuk kesadaran. Seperti yang ditekankan oleh Edmund Husserl dan para fenomenolog bahwa:

“Kesadaran itu selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Kesadaran itu
bersifat bersifat intensional, artinya Kesadaran selalu mengarahkan
diri kepada obyeknya nya apa pun wujudnya: bisa benda-benda fisik,
gagasan-gagasan ataupun yang lain”.

kesadaran yang dimiliki feminis juga erat kaitannya dengan kegiatan akan pengalaman mereka untuk mengetahui sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung. Kesadaran ini pertama-tama lebih cenderung digunakan feminis untuk memaksudkan tidak mengulangi suatu kesalahan yang sama. Dengan kata lain, kesadaran feminis juga mengarah pada kesadaran untuk menyadari sesuatu. Misalnya, gagasan-gagasan yang diungkapkan oleh kaum patriarki. Di satu pihak gagasan-gagasan yang dimunculkan kaum patriarki mengandung unsur positif, tetapi di lain pihak gagasan-gagasan tersebut sangat tidak menguntungkan bagi para feminis. Gagasan-gagasan ini menjadi pembatas bagi feminis untuk berkembang dan berpikir sebagai manusia modern.
Dalam sejarah penciptaan kita mendengar suatu peristiwa yang menarik dan sekaligus peristiwa yang kerap ditolak oleh kaum feminis, yaitu perbedaan jenis kelamin menjadi perbedaan dalam banyak hal termasuk cara pandang yang sangat berbeda dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki(maskulin) dianggap sebagai manusia pertama(the first sex) sekaligus sebagai penguasa pertama dunia. Sedangkan perempuan(feminis) dianggap manusia kelas dua(the second sex) dan mempunyai peran sebagai pelengkap. Laki-laki diberi kuasa oleh Penciptanya untuk memberi nama kepada segala jenis binatang, tetapi satu kekurangan yang dilihat Sang Pencipta dari manusia pertama ini, yaitu ia tidak mempunyai ‘teman’ yang sepadan. Namun kekurangan ini dipenuhi oleh Sang Pencipta dengan menganugerahi kepada manusia pertama seorang teman sekaligus sebagai penolong yang sepadan, yaitu manusia kedua, perempuan.
Kisah ini mengandung suatu nilai optimis bagi kaum maskulin untuk semakin berkuasa atas alam dan segala ciptaan Tuhan termasuk kaum feminis. Namun bagi feminis sendiri di satu sisi kisah ini ingin menunjukkan bahwa feminis menghadapi suatu tantangan besar untuk memperoleh tempat yang sama, yang sejajar dengan kedudukan maskulin. Dalam realitas sosial banyak cara yang telah dilakukan oleh feminis berkaitan dengan perjuangan mereka. Misalnya persamaan gender, baik dalam pekerjaan, tugas maupun pendidikan. Namun apakah usaha ini berhasil menjatuhkan atau mensejajarkan kedudukan feminis terhadap kedudukan maskulin? Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi dalam realitanya hingga saat ini para feminis masih berjuang untuk memperoleh suatu kemungkinan terhadap masa depan mereka di mata kaum maskulin.
Dalam perkembangan dunia modern Perjuangan pembebasan perempuan, yang dinotabenekan sebagai warga kelas dua(The Second Sex) kiranya menemukan suatu perspektif baru dan merupakan bentuk kesadaran baru dari feminis, yaitu penciptaan teori baru atau epistemologi feminis. Kesadaran baru tersebut dimunculkan feminis sebagai bentuk protes terhadap identitas yang selama ini tidak diperhitungkan. Identitas feminis tidak dipandang positif oleh kaum maskulin, yang tidak merepresentasikan status maupun peran feminis dalam membentuk atau menciptakan suatu teori-teori berdasarkan pemikiran feminis. Dengan kata lain kesadaran tersebut muncul karena feminis ingin membuktikan bahwa gagasan-gagasan dari basis pengetahuan mereka melebihi gagasan-gagasan perspektif maskulin dan gagasan tersebut dapat diterima oleh masyarakat.
Kesadaran kaum feminis menciptakan ilmu merupakan suatu sikap positif yang menandakan bahwa kaum feminis bukan hanya sebagai manusia yang diciptakan untuk mengurus persoalan-persoalan harian dalam keluarga atau lebih pada hal-hal praktis saja, serta sebagai pelengkap bagi kaum maskulin, tetapi sebagai manusia yang mempunyai konsep berpikir yang mungkin melebihi pengetahuan kaum laki-laki.
Persoalan mengenai konsep berpikir feminis tersebut menjadi suatu permasalahan yang sangat besar. Pada tahun 1980-an dan 1990-an perdebatan seputar permasalahan tentang pandangan perempuan yang esensial dan bentuk epistemologi telah diserang dan dikritik dari dalam feminis sendiri dan kritik dari luar.oleh perempuan yang berkeberatan dengan teori feminis yang gagal dalam mengungkapkan permasalahan mereka .
Sebaliknya, kaum maskulin selama berabad-abad bahkan sampai sekarang dinotabenekan sebagai warga kelas pertama(The First Sex). Sebutan ini dapat dikatakan sebagai fakta historis masa lampau, yang mendukung teori-teori yang diciptakan kaum maskulin. Misalnya, peninggalan tulisan-tulisan kuno atau traktat-traktat, yang dihasilkan kaum maskulin dan yang sekaligus menjadi suatu kebenaran yang dapat diterima oleh masyarakat termasuk kaum feminis. Seolah-olah dunia sosial yang real ini diciptakan, diusahakan dan dibentuk atas basis pemikiran atau temuan laki-laki bukan feminis. Dengan kata lain, kritik dari para filsuf dan pemikir psikoanalisis dan teori kebudayaan yang terus berlangsung, khususnya postrukturalisme dan posmodernisme, yang menyerang basis epistemologi feminis dan menolak konsep feminisme menjadi suatu teori-teori yang dapat dibenarkan dalam masyarakat.
Misalnya, Halberg. Dia adalah seorang pemikir posmodern menyerang pemikiran feminisme dengan mempertanyakan gagasan dari sebuah basis pengetahuan feminis. Halberg mengatakan bahwa gagasan sebuah konsep ‘kebenaran’ selalu plural dan bergantung pada situasi. Maka permasalahan yang muncul menurut Halberg adalah basis epistemologi itu sendiri, yang harus dipertanyakan. Halberg juga menelaah mengenai sifat dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam membangun teori epistemologi feminis. Menurutnya terdapat tiga permasalahan yang sangat sulit dipecahkan, yaitu permasalahan obyektivisme dan relativisme, pemikiran perempuan dan laki-laki dan perbedaan di dalam pemikiran feminis. Dari telaah yang dilakukan Harberg, ia menemukan suatu konsep paling jelas untuk mengakomodasi tuntutan teoretis yang dibutuhkan, yaitu “pengalaman umum perempuan”.
Pengalaman perempuan jika dilihat secara mentah memang sangat sulit untuk diketahui secara jelas berhubungan dengan penciptaan suatu teori. Namun walaupun banyak persoalan yang muncul sebenarnya pengalaman ini merupakan suatu pijakan yang tepat untuk melihat realita yang terjadi. Pijakan ini lebih jauh dapat memunculkan suatu kesadaran dan yang pada akhirnya dapat memantulkan suatu sinar untuk bergerak dan berpikir lebih jauh tentang keberadaannya. Term pengalaman ini mengandung sebuah point yang berbobot tinggi karena term ini berkaitan langsung dengan realita kehidupan dan secara jelas juga kita dapat mengatakan bahwa perempuan mengambil tempat yang dominan dalam hal ini dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Dengan demikian, berdasarkan lika-liku perjalanan sebuah ilmu dari sudut perspektif feminis( = mengandaikan perempuan sebagai The first Sex) dapat dikatakan bahwa dalam memperjuangkan sebuah pengetahuan, feminis mulai dari suatu kesadaran akan pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Artinya, perempuan melihat fakta historis dunia dikuasai oleh kaum laki-laki, termasuk penciptaan basis suatu teori pengetahuan perspektif laki-laki dalam dianggap banyak mengandung problematis. Melalui lika-liku inilah feminis mulai memperdebatkan dan menanggapi teori perspektif laki-laki, yang dianggap kurang sesuai dengan realitas sesungguhnya atau pandangan laki-laki sangat problematik oleh feminis.

Penghayatan Perempuan terhadap Nilai Pendidikan

Permasalahan utama yang sangat perlu diamati sebelum beranjak pada suatu teori dari sebuah pengetahuan yang ingin dimunculkan dari perspektif perempuan adalah bagaimana penghayatan perempuan terhadap nilai pendidikan! Bagaimana perempuan dapat keluar dari belenggu feodalisme laki-laki.
Para perempuan Indonesia(khususnya) memiliki kecenderungan positif terhadap nilai pendidikan. Nilai pendidikan yang ada itu ditegaskan dalam berbagai kebiasaan. Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa dalam budaya bangsa Indonesia nilai pendidikan ini tidak dapat dilepaskan dari nilai pekerjaan.
Misalnya suatu kebiasaan yang terjadi di daerah pedesaan , orang tua memasukkan anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan ke sekolah dasar, ketika mereka berumur 6-7 tahun(umur ini merupakan ketentuan sistem pendidikan yang resmi); atau orang tua, lebih-lebih si ibu menyisihkan dengan patuhnya sejumlah uang setiap bulan menyumbang sekolah khususnya untuk membeli keperluan sekolah tersebut. Contoh lain kita dapat melihat gadis-gadis kecil memegang buku(belajar) sambil mengasuh adiknya. Nampak jelas di sini terdapat pembagian kerja di antara anggota rumah tangga, khususnya antara si ibu dengan anak-anaknya dalam pekerjaan rumah tangga, yang mendukung bahwa pendidikan formal itu penting.
Nilai pendidikan yang dihayati dan yang menjadi perhatian dan kepedulian perempuan tidak hanya ada dalam budaya atau kebiasaan di Indonesia, tetapi juga terdapat di hampir seluruh dunia bahwa setiap perempuan telah memiliki kecenderungan positif terhadap nilai pendidikan. Memang permasalahan yang muncul adalah kapan kecenderungan itu muncul?
Sebenarnya, kita telah mendapat jawabannya yaitu sejak adanya kesadaran perempuan untuk keluar dari belenggu feodalisme dan pemikiran-pemikiran patriarki yang membudaya, melalui pengalaman-pengalaman inderawi mereka. Namun nilai kesadaran akan pendidikan ini dapat hilang apabila perempuan terlalu mempertimbangkan segala sesuatu dengan berpedoman pada pengalaman yang sederhana dan tanpa melibatkan kemampuan dalam meragukan segala sesuatu untuk menemukan suatu kesepakatan atau suatu kebenaran serta bersikap kritis terhadap pekerjaan yang dihadapinya. Dengan kata lain, setiap pengalaman yang dialami oleh feminis tidak sekedar disadari atau diterima begitu saja, tetapi pengalaman yang diterima tersebut perlu dikritisi. Nash, (1994: 6-7) mencatat kritik Derrida tentang ‘metafisika kehadiran’, yang telah mempermasalahkan konsepsi pengalaman sebagai sesuatu yang sederhana dan transparan:

“Apa yang dimaksudkan adalah pengalaman tidak akan pernah bisa diisolasi dari konteks di mana mereka manampakkan dirinya sendiri dan setiap pengalaman melibatkan ‘kemampuan untuk meragukan……..”



Basis Teori dari Suatu Pengetahuan yang akan
Dimunculkan feminis

Tujuan suatu epistemologi yang ingin dimunculkan feminis pada umumnya mengimplikasikan dua hal penting yang harus dibedakan dalam feminis, yaitu gerakan gender dan rekonstruksi feminis. Gerakan gender sudah dimulai sejak jaman pencerahan pada abad-16 dan abad-17. Gerakan pada masa ini merupakan suatu bentuk gerakan perlawanan seksisme, yaitu paham yang berpandangan adanya perbedaan yang jelas antara kedudukan laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi baik dalam sistem sosial maupun politik, sebagai mana dinyatakan oleh Nicholson(1990: 26),

“perempuan membentuk teori adalah untuk membantu perjuangan
melawan seksisme, bukan bermaksud untuk mengabaikan alat
politk yang kuat sebagai hasil dari perdebatan di dalam dinding
filsafat profesional”.

Gerakan ini, pada akhirnya memunculkan suatu reaksi protes feminis terhadap feodalisme kaum laki-laki. Feminis ingin membebaskan diri dari pandangan dan tindakan laki-laki yang merendahkan derajat perempuan. Melalui relasi gender ini mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sederajat dengan kaum laki-laki.
Usaha feminis melalui gerakan gender itu berbeda dari penemuan baru para feminis sendiri. Penemuan baru ini lebih cenderung pada basis suatu teori pengetahuan. Artinya, dalam melihat situasi, feminis mulai menggunakan nalar yang diangkat dari suatu pengalaman. Misalnya, Penghayatan perempuan terhadap nilai pendidikan bukan hanya telah ada dalam masyarakat Indonesia, tetapi penghayatan ini telah ada sejak kesadaran dari seluruh perempuan yang merasa harus bergerak untuk keluar dari belenggu familialisme dalam kungkungan kaum laki-laki. Dalam arti bahwa penghayatan tersebut telah sampai pada tahap yang lebih jauh dari sebelumnya, yakni kesadaran positif untuk menciptakan suatu teori pengetahuan perspektif feminis. Dengan asumsi lain, bahwa feminis terus melakukan rekonstruksi terhadap suatu basis pengetahuan, yang mana rekonstruksi pengetahuan tersebut telah mengubah pola pikir feminis dalam bertindak dan berpikir. Namun persoalan yang muncul adalah apakah kesadaran positif ini telah sungguh-sungguh disadari oleh feminis terutama dalam menerima nalar sebagai basis pemikiran dalam menciptakan suatu pengetahuan?
Beberapa feminis mulai melihat ‘nalar’ sebagai titik awal berpikir yang cukup penting dan sekaligus sebagai basis pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang feminis selain konsep pengalaman harian. Namun beberapa cabang feminis menolak ‘nalar’ sebagai basis di mana akan dibangun epistemologi feminis, dengan alasan bahwa nalar merupakan kodrat laki-laki dan menganggap nalar adalah dasar teori laki-laki yang sangat problematis. Karena alasan ini ada beberapa persoalan yang muncul yaitu, persaingan antara konsep nalar dan konsep pengalaman.
Di sisi positif pengalaman itu sangat penting dan merupakan variabel yang erat dalam mendukung pembentukan pengetahuan feminis. Dengan kata lain, pengalaman secara umum merupakan konsep awal perempuan dalam membebaskan diri dari ruang pembatas yang dibentuk oleh belenggu feodalisme laki-laki. Sedangkan dari sisi negatif, konsep ini banyak mendapat kritik dan juga serangan-serangan dari para pemikir postmodern, karena teori ini tidak mempunyai suatu dasar atau basis dalam mendukung suatu basis teori feminis yang akan dimunculkan. Maka persoalan yang muncul adalah teori yang bagaimana dapat dijadikan basis suatu pengetahuan perspektif feminis? Persoalan tersebut sangat sulit dijawab dan belum ada kesepakatan yang pasti, karena beragam persoalan lain juga terus menerus bermunculan, baik kritik maupun ketidaksepakatan-ketidaksepakatan lain.
Ada beberapa hal yang sangat penting dalam mendukung basis suatu pengetahuan perspektif feminis:

1. Pengalaman Inderawi

Pengalaman merupakan hal yang utama dan yang memungkinkan adanya pengetahuan. pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan manusia dalam interaksinya dengan alam semesta, dirinya sendiri, serta keseluruhan lingkungan sosial sekitarnya, termasuk yang berhubungan dengan yang Ilahi.
Pengalaman yang disadari oleh manusia itu beraneka ragam, selalu berkaitan dengan obyek tertentu di luar diri kita sebagai subyek dan terus bertambah seiring dengan pertambahan umur, kesempatan, dll. Selain itu, pengalaman itu bersifat nyata, ada dan tidak pernah lepas dari manusia itu sendiri. Misalnya, manusia jaman modern, kita ketahui memiliki kecenderungan untuk melihat suatu hal berdasarkan suatu kenyataan atau suatu peristiwa yang memaksudkan sesuatu yang disadari untuk diketahui itu ‘ada’ dan dialami manusia melalui indera, baik indera khusus maupun indera pada umumnya. kenyataan yang dilihatnya itu terjadi melalui kontak dalam suatu kegiatan antara subyek dan obyek. Dengan kata lain, kontak antara subyek dan obyek berlangsung dalam suatu pengalaman atau beberapa pengalaman yang dirasakan, dialami dan direfleksi subyek itu sendiri melalui indera.
Misalnya, feminis sendiri menganggap pengalaman sangat erat kaitannya dengan perempuan dan tidak bisa dipisahkan dari feminis, dalam arti bahwa pengalaman merupakan titik pijak feminis untuk melihat suatu kebenaran. Dengan kata lain pengalaman adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam memunculkan pengetahuan, karena melalui pengalaman itulah muncul suatu gagasan-gagasan yang dapat dipercaya dan aktual serta nyata.
Dari satu segi, asumsi di atas tidak mendapat dukungan dari Kaum Rasionalis. Namun dari segi lain, asumsi tersebut mendapat penilaian positif dari Kaum Empiris. Kaum Rasionalis menolak atau menafikan bahwa peran yang sangat penting dalam pengetahuan adalah indra. Misalnya, Descartes menyebutkan ada tiga hal yang menjadi asal usul gagasan atau ide, yakni (1) pengalaman, (2) konstruksi mental, dan (3) pikiran. Gagasan dari sumber pertama adalah gagasan yang bersifat datang dan pergi, sehingga tak terpercaya. Gagasan kedua merupakan suatu imajinasi manusia sendiri, sehingga masih bisa mengecohkan dan tak nyata. Dan sebagai kesimpulan dari Kaum Rasionalis hanya dari gagasan yang ketiga, yaitu pikiran yang sangat penting dalam pengetahuan. Pikiran dengan gagasan-gagasannya yang bersifat bawaan(innate ideas) bisa diperoleh suatu gagasan yang dapat terpercaya, tidak bisa mengecohkan lagi dan nyata ada dalam ide dan tak teragukan lagi. Sedangkan indra, menurut mereka paling-paling hanya memunculkan gagasan pada tahap kesadaran, tetapi tidak pernah merupakan penyebab munculnya gagasan tersebut.
Kaum Empiris pada umumnya tidak mempercayai pikiran murni sebagai sumber pengetahuan. Bagi mereka pikiran hanya sebatas asosiasi atau terbatas pada gagasan saja serta menangkap kebenaran logis dan analitis. Mereka menyimpulka bahwa semua pengetahuan sejati manusia hanya dapat ditangkap melalui pengalaman inderawi, karena pengalaman inderawi berhadapan langsung dengan dunia fisik yang dapat menuliskan sesuatu di dalamnya.
Pengalaman inderawi dimiliki oleh semua orang, setiap manusia, yang mau menyadari setiap kegiatannya, baik laki-laki maupun perempuan. Pengalaman inderawi juga merupakan suatu faktor penting bagi seseorang dalam mengungkapkan sesuatu khususnya di jaman modern ini. Tanpa suatu kenyataan yang dirasakan oleh indra terlebih dahulu, seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya/ide-ide. Dengan kata lain, Pengalaman inderawi menjadi pilihan bagi perempuan dalam mendukung teori-teori yang ingin dimunculkan mereka sebagai basis suatu pengetahuan. Maksudnya, perempuan memilih basis ini karena dibalik pengalaman yang dirasakan dan dialami mereka, memiliki suatu nilai yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, yaitu kebenaran.
Memang, suatu persoalan yang sulit dihapus dari ide perempuan adalah notabene sebagai manusia kelas dua. Bagi feminis hal itu adalah ironi yang harus dibongkar, karena ironi tersebut merupakan suatu ungkapan negatif yang sulit dihilangkan dari masyarakat kita. Namun dengan adanya ungkapan ini, suatu usaha yang harus ada dalam setiap feminis, yaitu keluar dari kungkungan ungkapan ini.

2. Kesaksian

Seorang saksi merupakan faktor utama yang dapat mengajukan suatu penegasan yang dianggap benar untuk dipercaya. Dipercaya di sini dalam pengertian bahwa menerima sesuatu sebagai benar berdasarkan keyakinan atau jaminan otoritas orang lain yang memberi kesaksian. Pengalaman yang dimiliki feminis juga harus memiliki kesaksian atau bukti yang dapat memperkuat pengetahuan mereka sehingga pengetahuan dianggap benar.
Salah satu yang menjadi kelebihan feminis, yakni keberadaan mereka sebenarnya sudah menunjukkan bahwa mereka adalah saksi. Mereka secara tidak langsung adalah korban kehidupan sosial maupun politik yang didominasi oleh kaum laki-laki termasuk segala teori-teori yang ada di masyarakat. Dengan demikian, pengalaman real perempuan harus disadari sungguh-sungguh karena malalui pengalaman tersebut suatu pengetahuan dapat memunculkan suatu gagasan real.

3. Pikiran dan Penalaran

Tujuan teori pengetahuan perspektif feminis adalah merekonstruksi, mengemas ulang atau menotalkan kembali teori-teori yang telah ada dalam suatu bentuk teori yang dapat dipercaya dan secara umum dapat mengatasi problematis-problematis yang ada di tengah-tengah kehidupan masssyarakat yang beranekaragaman. Tujuan tersebut dapat berkembang apabila feminis(yang mempunyai peran utama) mulai menerapkan pikiran dan nalar.
Pengetahuan yang hanya difondasikan oleh suatu pengalaman sangat terbatas dan tidak akan mampu untuk melawan teori-teori yang ada. Untuk itu, epistemologi feminis dalam mengembangkan pengetahuannya, juga harus melakukan pendekatan dengan ilmu-ilmu lain. Tanpa ada perbandingan atau evaluasi serta kritik dari pengetahuan yang lain tidak akan menemukan kebenaran. Dengan kata lain, feminis dengan teori yang dimunculkannya tidak eksklusif terhadap ilmu pengetahuan lainnya. Setiap ilmu pengetahuan mengandung suatu unsur kebenaran tersendiri.

4. Perlunya Kesadaran dan Sikap Kritis

Setiap pengetahuan yang ada selalu merupakan hipotesa-hipotesa karena ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan jaman, situasi, dan subyek yang mengalaminya. Tanpa kesadaran dan sikap kritis terhadap setiap obyek pengetahuan yang muncul, pengetahuan tidak akan berkembang dan menemukan suatu kesepakatan-kesepakatan. Feminis juga harus mengetahui dan menyadari bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan-pendekatan dari suatu peristiwa atau pengalaman, perlu dikritisi, agar mencapai suatu kesepakatan-kesepakatan atau kebenaran.

D. KESIMPULAN

1. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa feminis menentang teori-teori patriarki dan pengetahuan perspektif laki-laki, yang menganggap nalar atau rasio merupakan sumber utama atau asal usul munculnya suatu gagasan atau ide. Teori-teori tersebut selama ini benar, tetapi menurut feminis yang melahirkan perempuan gelombang kedua, dalam kenyataannya teori-teori tersebut sangat problematis dan belum menemukan suatu titik pijak yang jelas dalam menemukan suatu kebenaran, karena hanya mengandalkan rasio atau nalar tanpa melihat segi yang lain, sehingga banyak problem yang muncul dan sangat merugikan feminis.
2. Problem-problem yang ada dan dirasakan, dialami feminis, baik langsung maupun tidak langsung membuat para feminis sadar akan keberadaan mereka. Keberadaan mereka bukan hanya sebatas sebagai manusia kedua setelah manusia pertama(laki-laki) dalam kisah penciptaan, namun keberadan mereka juga sebagai manusia yang dapat berpikir, menginderai, memunculkan gagasan atau ide yang mungkin melebihi kaum maskulin. Kesadaran itu juga merupakan titik pijak awal feminis dalam berpendapat atau berkeinginan menciptakan suatu basis teori. Salah satu contoh dari bentuk kesadaran feminis terhadap keberadaan mereka, yaitu perdebatan feminis baik dari dalam feminis sendiri maupun dari luar, yang memuncak pada abad-18 dan 19.
3. epistemologi feminis dapat diartikan suatu bentuk rekonstruksi, pengulasan kembali atau penotalan kembali pengetahuan untuk memperoleh suatu kesepakatan-kesepakatan dalam diri feminis sendiri atau dari luar feminis. Dalam hal ini titik awal feminis adalah melihat pengalaman sebagai suatu faktor utama yang sangat penting, karena melalui pengalaman itu mereka dapat memperoleh suatu kesadaran akan keberadaan mereka sehingga mencapai suatu gagasan-gagasan atau ide baru.
4. feminis tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman mentah atau sekedar menerima saja, tetapi pengalaman yang ada perlu diperkuat dengan kesaksian atau bukti, pikiran dan penalaran serta sikap sadar dan kritis, sehingga pengetahuan mereka dapat dipercaya.
5. pada akhirnya, pengetahuan perspektif feminis, diajak untuk melihat pengalaman sehari-hari sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena kerap kali laki-laki mengabaikannya.















































DAFTAR PUSTAKA


Vuuren, Nancy Van. Work & Career, Manage Work outside and within the Home.
WANITA dan KARIER: Bagaimana Mengenal dan Mengatur Karya, terj. A.
G. Lunandi(Yogyakarta: Kanisius, 1988).
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Abdullah, Irwan, Dr. (ed.). Sangkan Paran GENDER. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset UGM, 1997.
Sajogyo, Pudjiwati, Dr. Ir. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarkat Desa.
Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1989. Cet. 2.