KONSEP EKSISTENSI ALLAH MENURUT BONAVENTURA
1. PENGANTAR
Abad pertengahan (abad ke 7-14)[1] harus dikatakan sebagai jaman yang sangat harmoni. Gagasan baru serta cara pandang baru begitu mempengaruhi pola pikir manusia. Manusia seolah-olah diinspirasi untuk terus menerus menemukan hal-hal baru. Permulaan abad ini didukung dengan adanya ketenangan politik di Eropa pada masa pemerintahan raja Karel Agung[2]. Pada masa inilah kehidupan berbudaya mulai bangkit dan sekaligus berkembangnya ilmu pengetahuan dan kesenian. Ilmu pengetahuan ditandai dengan munculnya para pemikir agung yang diawali St. Agustinus, dan diteruskan pemikir besar lainya[3]. Para pemikir besar ini sebagian besar adalah para kaum religius Gereja. Karena itu, sedikit banyak pemikiran mereka selalu dikaitkan dengan filsafat yang berlatarbelakang kekristenan.
Filsafat abad pertengahan disebut juga dengan filsafat Skolastik. Filsafat Skolastik dibagi menjadi tiga periode[4], yakni Skolastik awal, Skolastik puncak dan Skolastik akhir. Salah satu tokoh Skolastis abad pertengahan yang akan didalami berikut ini adalah St. Bonaventura. Dia adalah salah satu teolog sekaligus filsuf Skolastik puncak, selain Albertus Magnus, Thomas Aquinas dan Johannes Don Scotus. Dalam salah satu pemikirannya, Bonaventura memberikan suatu refleksi filosofis mendalam tentang eksistensi Allah dan sejauh mana realitas ciptaan sebagai ada itu dapat menghantar kepada Allah, sebagai Ada yang Pertama. Pemikirannya ini berorientasi dari pemikir-pemikir sebelumnya, yakni Dionysius Areopagita dan Agustinus.
2. Pembahasan
2.1. Hidupnya
St. Bonaventura adalah seorang teolog sekaligus filsuf abad pertengahan periode Skolastik Puncak. Dia pernah hidup sejaman dengan Albertus Magnus dan Thomas Aquinas. Bonaventura dapat dikatakan sebagai seorang pemikir terbesar dari Fransiskan selain Thomas Aquinas dari Dominikan pada abad yang agung ini. Bonaventura atau Giovanni Fidanza, lahir di Bagnorea, Tuscany pada tahun 1221[5]. Ada satu pengalaman penting yang pernah dialami Bonaventura ketika ia masih kecil. Saat itu, Bonaventura sembuh dari sakit karena doa ibunya melalui perantara St. Fransiskus Asisi, lantas, karena peristiwa ini ia masuk Ordo Fransiskan. Peristiwa ini penting karena berkat usaha ibunya dia mengenal ordo Fransiskan.
Dalam pembinaan sebagai seorang Fransiskan, ia dapat mengenyam pendidikan di Paris di bawah bimbingan Aleksander dari Hales sebelum kematian Alexander tahun 1245[6]. Jasa Alexander ia cukup besar bagi Bonaventura, karena gurunya ini mampu memberikan kesan luar biasa bagi dia. Dapat dikatakan, Alexander membuat suatu gerakan perubahan yang besar bagi muridnya ini. Peristiwa ini dinyatakan Bonaventura dalam tulisannya praeculatio Proemio in Secundum librum Sentetiarum Praemisa seperti yang dikatakannya dalam buku pertamanya Sentences[7].
Bonaventura tidak menyelesaikan studinya di Paris karena ia lebih tertarik untuk menekuni bidang filsafat. Seperti halnya Thomas Aquinas, ia tidak tertarik dengan hal-hal dunia, seperti jabatan atau pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Ia menolak menjadi seorang staff di universitasnya (1255). Namun, sejak tahun 1256 ia memikirkan kembali hal itu dan menerima jabatan itu; hal ini sekaligus menjadikan dia sebagai guru besar di sana (Profesor Theologi)[8]. Selain itu, pada tahun yang sama bulan Februari, ia diangkat menjadi pemimpin Ordonya. Selanjutnya atas bujukan Paus, dia diangkat menjadi Uskup agung York, kemudian uskup Albano dan pada tahun 1273 diangkat Paus menjadi Kardinal. Ketika Konsili di Lyon dia hadir serta berkotbah pada reuni Gereja Barat dan Roma, tetapi ketika akhir Konsili Lyon ia meninggal, pada 15 Juli 1274[9].
Berikut ini ada beberapa karya yang pernah ditulis Bonaventura sejak tahun 1259[10]:
- Itinerarium mentis in Deum ditulis tahun 1259
- Biografi St. Fransiskus ditulis tahun 1261
- Collationes de decem Praeceptis (lenten sermons) ditulis tahun 1267-1268)
- De decem donis Spiritus Sancti (kira-kira tahun 1270)
- Collationes in Hexaemeron ditulis tahun 1273
- Breviloquium ditulis sebelum tahun 1257
- De Mysterium Trinitaris
- Sentetiarum
- The Five Feast of the Child Jesus
- Prayer after Communion
- COMMENTARIA IN QUATUOR LIBROS SENTENTIARUM
- Collationes de Septem Donis S. Sancti
- Christus Unus Omnium Magister (Christ the One Teacher of All)
- Commentarius in Primun Librum sententiarun Petri Lombardi
- De Reductione artium ad Theologiam
- Legenda Minor
- Legenda Maior
- Les Six Illuminations de cette vie
- La Triple Vie
- Speculum discipline ad novicios
- Exempla sacre scripture
- De Castitate et munditia sacerdotum
- Opuscula Ordinis minorum de observantia
2.3. Pemikirannya tentang Eksistensi Allah
Bonaventura melihat segala sesuatu, jasmani maupun rohani, selalu dihubungkannya langsung dengan Allah. Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada. Hal ini hendak mengatakan bahwa semua ciptaan Allah tidak ada yang sempurna, kekal. Melalui ciptaan yang tidak sempurna ini Allah hadir. Latar belakang pemikirannya ini didasarkan pada pemikiran St. Agustinus dan Dionisius dari Areopagus. Menurut Bonaventura Allah hadir, Allah ada dan merupakan suatu realitas yang jelas sekali. Bagaimana ia memahami realitas Allah yang ada?
Bertolak dari pemikiran St. Agustinus[11] tentang eksistensi Allah, yang melihat ada hubungan jiwa dan Allah, Bonaventura memahami eksistensi Allah dari realitas ciptaan. Ia memulai pemikirannya tentang eksistensi Allah juga dari relasi jiwa menuju Allah (akar dari eksistensi Allah). Bukti-bukti nyata dalam relasi ini dapat disimak dalam suatu tahap dalam pendakian jiwa menuju Allah (mistis).
Jiwa mampu mencapai Allah karena realitas Allah dapat ada dalam tiap bentuk pengetahuan yang pasti. Allah bukanlah sebatas pengertian sebagai suatu prinsip inteligibilitas yang abstrak[12]. Tetapi Allah adalah obyek doa manusia, bukan pertama-tama tujuan jiwa manusia. Allah adalah tujuan hidup manusia (menurut kesadaran iman orang-orang Kristen). Dengan kata lain, Bonaventura melihat Allah sebagai pencipta segala sesuatu. Dan yang lain bukanlah Allah tapi mahkluk ciptaan (ada yang diciptakan).
Allah dapat dipahami melalui manifestasi-Nya, baik dalam dunia materi atau dalam gambaran dunia jiwa itu sendiri. Allah hadir dalam dunia sensibilis[13]. Melalui dunia sensibilis ini (pengetahuan yang terbatas, ketidaksempurnaan, sesuatu yang bergerak/mengalir, dan ada manusia yang kontingen) dapat sampai pada pemahaman akan ketakterbatasan, kesempurnaan kesederhanaa, dan ada yang tetap. Dengan kata lain, melalui ada ada yang lain (ciptaan) manusia dapat sampai pada realitas kesempurnaan Allah.
Bonaventura yakin bahwa eksistensi Allah itu sangat jelas melalui refleksi jiwa (berasal dari ciptaan). Jiwa di satu pihak terikat dari dunia, tetapi di lain pihak terlepas dari dunia. Dunia memiliki ketidaksempurnaan dan keterbatasan karena berisi benda-benda yang kontingen[14]. Namun ada yang tidak sempurna dan terbatas ini menuntut dan menunjukkan eksistensi Allah Sang Kesempurnaan yang absolut. Dengan kata lain, gagasan tentang ketidaksempurnaan mensyaratkan ide dari kesempurnaan.
Gagasan/ide kesempurnaan atau sesuatu yang sempurna itu tak dapat dicapai melalui cara abstraksi. Karena itu, ada yang tidak sempurna dan terbatas membawa jiwa kepada pengetahuan yang pasti. pengetahuan di sini lebih menunjuk kepada pengetahuan inderawi yang menjadi obyek akal budi. Persoalan lebih lanjut, bagaimana pengetahuan (akal budi ) dapat sampai pada pemahaman bahwa ada sebagai mahkluk ciptaan (being) yang tidak sempurna dapat menjadi sarana untuk mengenal Allah?
Mahkluk Ciptaan merupakan Pengungkapan Eksistensi Allah
Allah menjadikan dari yang tidak ada menjadi ada, dengan kata lain, Allah menciptakan ada dari ketiadaan[15]. Dari pemahaman ini, Bonaventura berpendapat bahwa eksistensi Allah dapat dibuktikan, ditunjukkan dari mahkluk ciptaan Allah. Mahkluk ciptaan atau being memiliki keterbatasan, yang diciptakan Allah menjadi gambar Allah yang baik. Karena being ini tidak hadir dengan sendirinya dan diciptakan Allah, maka being atau segala sesuatu yang diciptakan itu akan kembali lagi kepada Allah. Namun, bukan berarti bahwa relasi antara Allah dan mahkluk ciptaannya jauh. Justru, karena prakarsa Allah sebagai Penyebab pertama, mahkluk ciptaan itu dapat sampai pada realitas Allah. Allah bukan obyek yang tidak sempurna dalam mahkluk ciptaannya tetapi kedudukan Allah ada sebagai Penyebab dari segala yang disebabkan[16]. Dengan kata lain, Allah memiliki kemampuan untuk mempengaruhi ada yang diciptakan.
Ada yang diciptakan memiliki potensi dan aktus[17]. Artinya, segala sesuatu yang diciptakan Allah tersusun dari materi dan bentuk. Ada yang diciptakan ini memiliki status yang tidak sempurna, karena tersusun dari materi atau bahan yang tidak tetap, kekal. Maka, dari realitas ini, tidak ada yang lain selain Allah yang memiliki aktus yang murni (hanya Allah). Karena pada Allah segala sesuatu adalah sempurna. Para malaikat sebagai mahkluk yang murni rohani karena tersusun dari materi dan bentuk tertentu, sedang segala mahkluk ciptaan lain termasuk manusia hanya tersusun dari materi dan bentuk. Namun, manusia memiliki zat ilahi karena manusia memiliki akal budi yang membedakannya dengan mahkluk yang lain. Dengan kemampuan akal budinya manusia dapat mengenal realitas ciptaan lain dan mampu menghubungkannya dengan Sang penciptaan. Dengan kata lain manusia memiliki terang dalam dirinya untuk mengenal Allah sekalipun terang itu terikat dengan keadaan dunia (terbatas)
Manusia dapat sampai pada pengetahuan akan Allah ini apabila pengetahuan dapat masuk akal bagi dirinya. Artinya, pengetahuan itu menyentuh pengalaman sensibilisnya sebagai pengalaman yang bisa dipahami sebatas pengetahuan manusia (pengetahuan inteligibilia). Aristoteles juga merefleksi tentang hal ini bahwa untuk sampai pada Allah salah satu cara adalah melalui pengenalan obyek sensibilis, yakni realitas ada yang dapat diinderawi oleh akal budi manusia.
Mengenai eksistensi Allah sebagai Ada yang menjadi ada Pertama dapat dipahami dalam karyanya Hexaemeron dan De Mysterio Trinitaris[18]. Dalam Hexaemeron dia berpendapat bahwa jika ada ada yang diciptakan, maka disana harus ada Ada yang menjadi Ada Pertama. Ada pertama ini harus menjadi Penyebab. Jika ada ada ab alio, ada di sana harus menjadi ada a se: jika ada ada yang tidak sempurna, maka harus ada Ada yang sempurna. Jika ada ada yang tidak tetap, berubah, maka harus ada Ada yang tetap, ada yang bergerak digerakkan oleh ada yang tidak dapat digerakkan quia mobile reducitur ad immobile. Pernyataan terakhir ini adalah referensi yang mengacu pada bukti Aristotelian atas eksistensi penggerak yang tidak dapat digerakkan. Di satu sisi, Bonaventura sebenarnya menentang pemikiran Aristoteles. Misalnya tentang metafisika. Bagi Bonaventura Allah dalam pemahaman metafisika Aristoteles tidak sama dengan Allah dalam pandangan orang Kristen.
Dalam De Mysterio Trinitaris, Bonaventura memberikan suatu bagian argumen-argumen singkat untuk menunjukkan dengan jelas bagaimana makhluk-mahkluk ciptaan menyatakan keeksistensian Allah. Misalnya, jika ada ens ab alio, maka harus ada ens non ab alio, karena tak ada sesuatu pun yang dapat membawa ada itu sendiri keluar dari status non – being (ada) ke dalam status ada, dan akhirnya harus ada yang menjadi ada Ada pertama yang adalah diri ada. Dengan kata lain jika ada ens in potentia, maka harus ada ens in actu.
Lebih lanjut dalam karyanya ini, Bonaventura menyatakan bahwa dunia sensibilis menjadi cermin kehadiran Allah. Bagaimana manusia dengan sensibilis memahami eksistensi Allah? Manusia memiliki kemampuan akal budi dan melalui akal budi ini ia mampu merefleksikan obyek sensibilis. Dengan kata lain, refleksi manusia dapat sampai kepada Allah hanya melalui tindakan jiwanya. Artinya, refleksi ini merupakan suatu pendakian jiwa menuju Allah (tahap pertama)[19]. Tahap selanjutnya yang sangat penting adalah bahwa eksistensi Allah itu adalah kebenaran yang tidak ragu-ragu; Allah sungguh-sungguh ada. Dari mana manusia tahu bahwa Allah itu adalah kebenaran yang pasti (jelas)? Dari setiap mahkluk ciptaan. Setiap mahkluk sungguh-sungguh menyatakan kehadiran Allah. Kehadiran Allah harus ditunjukkan melalui pengetahuan a priori.
Manusia adalah mahkluk yang memiliki kemampuan sensibilis dan sekaligus cermin diri Allah. Dengan kemampuan sensibilis ini, ia mampu mengarahkan refleksi akal budinya pada Kebaikan tertinggi, yakni Allah. Jadi pengalaman inderawi (a posteriori) manusia dalam hal ini sangat terbatas dan tanpa pengetahuan a priori manusia tidak akan sampai pada pengetahuan akan Allah. Dengan kata lain, dalam diri manusia (human) terdapat realitas Allah (zat ilahi). Realitas ini dapat berkomunikasi hanya melalui jiwa. Sekalipun jiwa menyatu dengan tubuh, tetapi ia adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Dengan demikian, manusia dalam hal ini tidak hanya berperan sebagai cermin diri Allah tetapi juga dalam dirinya terdapat sarana yang dapat menghubungkannya dengan Allah secara langsung, yakni jiwa yang membawa terang kehadiran Allah.
3. PENUTUP
Bonaventura berasumsi bahwa eksistensi Allah adalah suatu ada yang pasti. Ada yang pasti ini dapat ditemukan dalam mahkluk ciptaannya termasuk juga manusia. manusia memiliki posisi yang istimewa dari mahkluk ciptaan lain, yakni akal budinya. Akal budi manusia merupakan suatu anugerah dari Allah sendiri. Dan melalui terang akal budi ini, manusia mampu membuktikan bahwa Allah itu dekat dan ada; Allah itu adalah sang pencipta sekaligus Penyebab dan penggerak pertama (aktus Purus). Dialah yang memiliki kesempurnaan murni.
Realitas bahwa Allah ada mendorong manusia untuk mengarahkan refleksi akal budinya kepadaNya. Manusia tidak berhenti untuk mencapai kebenaran-kebenaran itu sampai realitas itu dapat dirasakan pengalaman inderawinya.
Pemikiran Bonaventura mengungkapkan suatu refleksi yang mendalam bahwa Allah ada. Allah tidak lenyap dari pemikiran manusia bahkan Allah dapat dirasakan kehadirannya melalui segala ciptaan (kontingen). Dengan kata lain, Bonaventura mendorong kita untuk menyadari bahwa Allah itu bukanlah pribadi yang jauh dan diam. Allah hidup dan berkarya di tengah-tengah manusia. Hanya manusia yang memiliki jiwa dan akal budi (mampu memahami pengertian universal) dapat sampai pada eksistensi Allah. Karena itu, pemikiran Bonaventura mereflesikan suatu gagasan yang sangat mendalam, yang harus disadari, direfleksikan serta diusahakan sampai pada penemuan akal budinya, yakni Sang Kebenaran sejati.
Relevansi untuk saat ini. Pemikiran Bonaventura secara tidak langsung mengajak manusia untuk senantiasa sadar akan lingkungan dunianya. Lingkungan atau segala yang ada tercipta, baik binatang maupun alam semesta harus dihargai. Segala yang tercipta ini bukan “sekedar ada” tetapi dari dirinya sendiri menampakkan kemuliaan, kebesaran Allah, yang menjadi Penyebab dan penggerak Pertama dari segala sesuatu yang ada. Dan kiranya, hal ini harus menjadi pegangan bagi manusia jaman sekarang, yang memiliki kelemahan dalam melihat pentingnya alam semesta sebagai wujud kehadiran Allah. Karena itu, Peringatan hari “Lingkungan Hidup” (tgl 5 Juni) yang diperingati setiap tahun harus merupakan suatu bentuk kesadaran manusia akan pentingnya segala ciptaan Allah. Dengan kata lain, peristiwa ini harus sungguh-sungguh menjadi tanda bahwa manusia tahu dan sadar bahwa segala ciptaan Allah merupakan wujud kehadiran Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Copleston, Frederick, S. J., A History Of Philosophy Vol 2: Mediaeval Philosophy Part I
(Augustine to Bonaventure), Maryland: Newman Press, 1950.
Fremantle, Anne, Age of Belief, New York: The New American Library, 1954.
Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual (Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari
Zaman Yunani Hingga Zaman Modern), Yogyakarta: Kanisius, 2004.
http://www. Fransiscan-archive.org. (Diakses tgl. 26 Mei 2008).
[1] Mengenai abad ini muncul banyak Versi dari para ahli, seperti disebut sebagai ‘Age of Belief’, ‘Age of Faith’. Bdk. Anne Fremantle, Age of Belief, (New York: The New American Library, 1954). hal. X .
[2] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980). hal. 87.
[3] Seperti Thomas Aquinas, Bonaventura, John Dun Scotus, …dsb.
[4] Bdk. Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern), ( Yogyakarta: Kanisius, 2004). hal. 105.
[5] Frederick Copleston, S. J., A History Of Philosophy Vol 2: Mediaeval Philosophy Part I (Augustine to Bonaventure), (Maryland: Newman Press, 1950). hlm. 269.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid. hal. 270.
[9] Ibid. hal. 270.
[10] http://www. Fransiscan-archive.org. (Diakses tgl. 26 Mei 2008).
[11] Ibid., hal. 89.
[12] Ibid., hal. 280.
[13] Ibid., hal. 281.
[14] Ibid., hal. 281.
[15] Ibid., hal. 281.
[16] Ibid., hal. 281.
[17] Ibid., hal. 282.
[18] Ibid., hal. 281-283.
[19] Ibid., hal. 282.